ABSTRAK
Oleh: DR. Bovie
Kawulusan., M.Si
Kita pahami
bahwa anak adalah asset bangsa juga
sebagai modal manusia (human capital)
dan investasi manusia (human investmen)
yang harus dirawat dan dijaga, dipelihara
serta dikembangkan sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh anak
tersebut juga sesuai dengan harapan pemerintah yaitu harapan yang positif untuk
masa depan bangsa dan Negara, dan kita yang sekarang ini sudah tidak tergolong
anak lagi tentunya akan tergantikan dengan anak-anak yang kita harapkan
tersebut dan proses ini adalah proses alamiah.
Perkembangan
hidup anak dilingkungan dimanapun anak tersebut berada secara normal terlihat
dari perilaku rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan ini tidak/kurang dipahami
oleh lingkungannya sehingga anak menjadi sasaran ketidak tahuan tersebut yang
mengarah kepada terjadinya kekerasan terhadap anak.
Kekerasan terhadap anak yang telah dilakukan analisis mulai dari kekerasan terhadap anak kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan kasus perbuatan tidak menyenangkan, setiap tahun persentasenya meningkat.
Kekerasan terhadap anak yang telah dilakukan analisis mulai dari kekerasan terhadap anak kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan kasus perbuatan tidak menyenangkan, setiap tahun persentasenya meningkat.
Pola pikir anak
dengan orang dewasa yang ada dilingkungnnya tentunya berbeda sehingga pemikiran
terutama orang dewasa yang terkait dengan perbedaan ini perlu diperkecil dan
bahkan dihilangkan melalui advokasi.Upaya mengatasi/memperkecil/ menghilangkan
terjadinya kekerasan terhadap anak kasus
perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah
umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan
kasus perbuatan tidak menyenangkan maka perlu dilakukan advokasi oleh
organisasi/badan/lembaga/ instansi yang terkait dan merupakan suatu upaya
persuasi yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran rasionalisasi, argumentasi
dan rekomendasi tindak lanjut kekerasan terhadap anak tersebut.
Key
word:
Kekerasan, Anak
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Berbicara
tentang anak ditinjau dari berbagai segi dan tentunya harus dikaitkan dengan
masa depan anak itu sendiri, masa depan keluarga, masa depan bangsa dan Negara,
dan kasus kekerasan terhadap anak sudah merupakan konsumsi yang sangat
dibutuhkan oleh Negara-negara diberbagai penjuru dunia yang artinya sudah
merupakan permasalahan internasional.
Anak-anak
yang sekarang hadir dan hidup di dunia ini merupakan harapan dan keinginan
orang tua baik yang direncanakan ataupun tidak direncanakan dengan proses mulai
dari Rahim seorang ibu sampai lahir ke dunia ini dengan tanpa sepengetahuan
anak tersebut untuk apa dia dilahirkan dan hidup di dunia ini. Melalui proses
kehamilan s.d kelairan anak tentunya tidak mudah bagi seorang ibu
mengurus/merawat mulai dari hamil dan pasca melahirkan dengan segala risiko,
kedokter, ke rumah sakit, ke puskesmas, ke tenaga medis untuk kesehatan dan
keselamatan anak tersebut dengan ukuran waktu, biaya, tenaga, perasaan dan
sebagainya yang dirasakan oleh seorang ibu.
Anak
yang saat dilahirkan tidak mengetahui apa yang diinginkan padanya oleh orang tua,
keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa dan Negara, namun demikian dlam proses
kehidupannya dan sesuai dengan perkembangan anak, tentunya semakin hari semakin
terlihat perkembangan baik fisik maupun perkembagan psikisnya.
Anak
yang dikatakan normal proses perkembangan kehidupannya juga terlihat dari rasa
ingin taunya sangat tinggi yang terkadang tidak dipahami oleh orang tua,
keluarga, masyarakat yang dekat dengannya dalam hal situasi apapun, dan sering
juga disamaratakan cara dan pola pikit dan prilaku anak dengan orang dewasa dan
banyak orang yang dewasa bahkan berprilaku terhadap anak yang tidak sesuai dengan harapan serta
kemampuan anak baik fisik maupun mental anak tersebut sehingga timbuk
kekecewaan orang tua yang diikuti emosional dgn prilaku yang tidak seharusnya
diterima oleh anak tersebut dalam bentuk kekerasan.
Kita
pahami bahwa anak adalah asset bangsa sebagai modal manusia (human capital), dan investasi manusia (human investmen) sehingga asset tersebut
harus dirawat dan dipelihara serta dikembangkan dengan berbagai cara agar anak
tersebut benar-benar tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan yang
diinginkan, dan tentunya harapan yang positif untuk masa depan bangsa dan
Negara. Bagi kita yang termasuk dewasa tentunya suatu saat akan keluaratau terpinggirkan dari lingkungan
karena ketidak mampuan akibat proses menjadi tua dan tidak produktif sehingga
pada suatu saat akan digantikan oleh generasi berikut yaitu anak-anak kita yang
tentunya semakin menjadi anak, semaja, dan dewasa yang produktif.
Namun
demikian ketika dalam proses menjadi remaja, dewasa yang produktif terkadang
mengalami hambatan dalam kegidupannya akibat perlakuan atau prilaku dari
berbagai pihak yang mengakibatkan terjadinya hambatan baik dalam berkreasi,
berpendapat, dan berprilaku positif dalam menghadapi perkembangan
lingkungannya.
Ketika
memahami data yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun, dan hasil Hasil
pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan.
“Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311
kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti kepada
Harian Terbit, Minggu (14/6/2015). KPAI memaparkan, 5 kasus tertinggi dengan
jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak berhadapan
dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6.006 kasus, selanjutnya, kasus
pengasuhan 3.160 kasus, pendidikan 1.764 kasus, kesehatan dan napza 1.366 kasus
serta pornografi dan cybercrime 1.032 kasus. Anak juga bisa menjadi korban
ataupun pelaku kekerasan tempat terjadinya kekerasan pada anak di 3 (tiga) area
yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan
masyarakat.
Hasil
monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91,0
persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di
lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat. Perilaku kekerasan
juga terbaik dimana 78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian
besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah
melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.
Pelaku
kekerasan pada anak bisa dibagi menjadi tiga: 1) orang tua, keluarga, atau
orang yang dekat di lingkungan rumah; 2) tenaga kependidikan yaitu guru dan orang-orang
yang ada di lingkungan sekolah seperti cleaning service, tukang kantin, satpam,
sopir antar jemput yang disediakan sekolah; 3) orang yang tidak dikenal.
Berdasarkan data KPAI di atas tersebut, anak korban kekerasan di lingkungan
masyarakat jumlahnya termasuk rendah yaitu 17,9 persen.
Di
Provinsi Lampung kekerasan terhadap anak seperti salah satu contoh http://www.lampost.co/berita-kasus-kekerasan-terhadap-anak-di-lampung-selatan-meningkat [26-09-2017;
20:48] di kabupaten Lampung Selatan Sepanjang tahun 2016 kekerasan terhadap
anak dan perempuan di Lampung Selatan sedikit ada peningkatan dari tahun
sebelumnya. Tercatat sebanyak 47 kasus terjadi sepanjang tahun 2016, sedangkan
tahun 2015 sebanyak 41 kasus.
Kepala
Unit IV, Pelayanan Anak dan Perempuan (PPA) Sat Reskrim Polres Lampung Selatan,
Aiptu Arifin mewakili Kapolres Lampung Selatan, AKBP Adi Ferdian Saputra
mengatakan dari beberapa kekerasan terhadap perempuan dan anak, angka
persetubuhan anak di bawah umur yang naik siginifikan.
Angka kasus persetubuhan anak dibawah umur naik signifikan dibandingkan yang lainnya, kata Arifin, Senin (13/2/2017), sedangkan angka pencabulan terhadap anak, sama jumlah kasusnya antara tahun 2015 dengan 2016. Untuk penganiayaan terhadap anak ada kenaikan dari 2 kasus menjadi 4 kasus pada tahun 2016.
Angka kasus persetubuhan anak dibawah umur naik signifikan dibandingkan yang lainnya, kata Arifin, Senin (13/2/2017), sedangkan angka pencabulan terhadap anak, sama jumlah kasusnya antara tahun 2015 dengan 2016. Untuk penganiayaan terhadap anak ada kenaikan dari 2 kasus menjadi 4 kasus pada tahun 2016.
Kasus
kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung tampaknya kian mengkhawatirkan,
baik itu yang terungkap ke publik maupun masih tersembunyi.
Baru-baru ini, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung merawat gadis di bawah umur yang diduga menjadi korban penganiayaan dan pelecehan seksual. Hingga Senin (8/8/2016), pihak RSUDAM belum dapat mengetahui identitas pasien tersebut, mengingat anak gadis yang diperkirakan berusia 12 tahun itu kondisinya masih belum bisa makan dan minum karena bagian bibirnya masih luka. Gadis itu diduga mengalami kekerasan dan pemerkosaan. Ia ditemukan warga di pinggiran trotoar depan pusat grosir pakaian Mangga Dua Kelurahan Sukaraja Kecamatan Telukbetung Selatan, Selasa pekan lalu. Saat ditemukan, kondisi gadis itu sangat memprihatinkan, mengalami luka di bagian bibir, wajah dan bagian kemaluannya serta bagian tubuhnya dipenuhi luka lebam. Pada rambutnya juga tampak bekas dipotong secara paksa.
Baru-baru ini, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung merawat gadis di bawah umur yang diduga menjadi korban penganiayaan dan pelecehan seksual. Hingga Senin (8/8/2016), pihak RSUDAM belum dapat mengetahui identitas pasien tersebut, mengingat anak gadis yang diperkirakan berusia 12 tahun itu kondisinya masih belum bisa makan dan minum karena bagian bibirnya masih luka. Gadis itu diduga mengalami kekerasan dan pemerkosaan. Ia ditemukan warga di pinggiran trotoar depan pusat grosir pakaian Mangga Dua Kelurahan Sukaraja Kecamatan Telukbetung Selatan, Selasa pekan lalu. Saat ditemukan, kondisi gadis itu sangat memprihatinkan, mengalami luka di bagian bibir, wajah dan bagian kemaluannya serta bagian tubuhnya dipenuhi luka lebam. Pada rambutnya juga tampak bekas dipotong secara paksa.
Sebelumnya,
Kasda (32), warga Dusun Tanjung Bayur Desa Tanjungan Kecamatan Katibung
Kabupaten Lampung Selatan berurusan dengan kepolisian setelah disangka membunuh
kedua anaknya Alka (4) dan Yuda (2) di kamar tidurnya bulan lalu. Sementara
itu, istrinya, Ojah (30) mengalami luka-luka parah akibat bacokan di
bagian belakang kepala. Kasus itu ditangani kepolisian setempat. Sejumlah kasus
kekerasan terhadap anak dan perempuan di Lampung masih saja terus terjadi
dengan kecenderungan terus meningkat.
Per
1 Mei 2016, berdasarkan data kasus ditangani Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)-Lamban Indoman Putri Provinsi Lampung,
telah terjadi 85 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tahun 2016 ini
diperkirakan akan lebih banyak kasus kekerasan dibandingkan tahun 2015. Sebagai
catatan, menurut Heni Astuti, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung, total
tercatat 95 kasus kekerasan pada anak dan perempuan pada tahun lalu. Sementar
itu, Lembaga Advokasi Anak (LAdA) dan Lembaga Advokasi Perempuan Damar mencatat
sebanyak 21 kasus kejahatan seksual terhadap anak di Lampung terjadi dalam
kurun waktu lima bulan pertama 2016. Sebanyak 49 anak menjadi korban, dua di
antaranya meninggal dunia. Artinya, sembilan sampai 10 anak di Lampung menjadi
korban kekerasan seksual setiap bulan.
Direktur
Eksekutif LAdA Lampung Turaihan Aldi menilai, kasus kekerasan dan kejahatan
seksual terhadap anak di Lampung terbilang mengkhawatirkan. Menurutnya, selain
dalam lingkungan keluarga, di sekolah pun anak-anak bisa menjadi korban
kekerasan, seperti kekerasan seksual terhadap siswi TK di Kota Metro diduga
melibatkan penjaga sekolah, dan sepertinya tidak ada lagi tempat yang aman bagi
anak untuk tumbuh kembang, mengingat di tempat tinggalnya sendiri, anak bisa
menjadi korban orang tua maupun keluarga dekatnya," katanya pula.
LAdA-Damar
meminta pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat dapat menjadi jejaring yang
efektif untuk mencegah kejahatan seksual terhadap anak sejak dini, sekaligus
memberikan pemahaman terhadap kelompok masyarakat sipil tentang UU Perlindungan
Anak dan Hak-Hak Anak. Selain itu, mereka juga mengusulkan materi tentang hak
anak dan pendidikan seks sejak dini masuk dalam kurikulum pendidikan nasional,
dan pemahaman perspektif hak anak sebaiknya dijadikan syarat mutlak bagi
penyidik kasus kejahatan seksual terhadap anak pada jajaran kepolisian.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka anak sangat rentan menjadi korban kekerasan justru di
lingkungan rumah dan sekolah, dimana lingkungan yang mengenal anak-anak
tersebut cukup dekat, dan pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak
berasal dari kalangan yang dekat dengan anak.
1.2.
Identifikasi
dan Rumusan Masalah
a.
Identifikasi
permasalahan
Berdasarkan
latar belakang tersebut maka permasalahan yang teridentifikasi kekerasan terhadap anak adalah sebagai berikut:
1)
Anak
dilahirkan apakah diinginkan atau tidak semuanya tidak disadari olehnya
2)
Harapan
orang tua, lingkungan dan masyarakat terhadap anak selalu negative
3)
Kekerasan
terhadap anak bukan karena anak nakal tetapi pemahaman perkembangan anak yang
belum dipahami lingkungan anak tersebut
4)
Konsep
nakal dengan rasa ingin tahu, dan anak aktif sangat berbeda
b.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
latar belakang dan identifikasi permasalahan tersebut di atas, maka rumusan
masalah dalam tulisan ini adalah “Bagaimana hasil Analisis Kekerasan Terhadap
Anak Di Provinsi Lampung”
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan melakukan
analisis ini adalah untuk mengetahui hasil analisis kekerasan terhadap anak di
Provinsi Lampung; dan manfaat penulisan analisis ini adalah: menemukan kebijakan dan pendekatan yang tepat
untuk melakukan advokasi dalam rangka memperkecil/mengurangi/menghilangkan
terjadinya kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung.
1.4.
Metode
Penulisan
Metode yang
digunakan untuk penulisan analisis kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung
adalah metode deskriptif yaitu memberikan deskripsi tentang kekerasan terhadap
anak dengan menggunakan data sekunder serta data pendukung lainnya.
1.5.
Landasan
Teori
Anak sebagai tunas,
potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat
khusus sehingga wajib dilindungi
dari segala bentuk perlakuan tidak
manusiawi yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran hak
asasi manusia. Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun
1945, dan Negara
Kesatuan Republik
Indonesia menjamin kesejahteraan
tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap
hak anak yang merupakan
hak
asasi manusia, dan Hak Anak
menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 adalah
bagian
dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan
dipenuhi oleh
Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah,
dan pemerintah daerah.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak
dalam situasi dan
kondisi tertentu untuk mendapatkan
jaminan rasa
aman terhadap ancaman yang
membahayakan diri
dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Undang-undang menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab
memberikan dukungan sarana, prasarana, dan
ketersediaan sumber daya manusia
dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Peraturan Daerah Provinsi Lampung (Perda) Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pelayanan
Terpadu Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Tindak Kekerasan menekankan bahwa
tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak berdimensi fisik, psikologis,
seksual dan ekonomi dengan mengatasnamakan budaya, tradisi, adat, agama dan
sebagainya merupakan pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi terhadap
perempuan dan anak dan kejahatan terhadap martabat manusia sehingga menghambat
terciptanya keadilan dan kesetaraan jender serta kehidupan demokrasi; dan
tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak telah berlangsung lama dan
jumlahnya terus meningkat serta meluas tetapi jarang muncul di permukaan untuk
menjadi persoalan sosial (pandemie);
a.
Kekerasan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjelaskan
bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak
yang
berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk
ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum.
Tindak Kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan
kenikmatan, dan pengabaian terhadap hak asasi perempuan dan anak atas dasar
gender serta trafiking yang dilakukan oleh pelaku kekerasan, yang mengakibatkan
rasa sakit, luka fisik, cidera, pingsan, cacat, cacat permanen‑gugurnya
kandungan, gangguan psikis/jiwa, serta kerugiaan secara ekonomi, atau sampai
menyebabkan kematian.
Kekerasan
yang terjadi pada kasus-kasus kekerasan terhadap anak dilihat dari beberapa
ranah seperti kekerasan di ranah publik, privat dan serta kekerasan dalam rumah
tangga.
Kekerasan
di rana publik adalah kekerasan terhadap perempuan
dan anak yang terjadi di masyarakat, berdimensi pelecehan, kekerasan di tempat
kerja, kekerasan di wilayah konflik, perkosaan, pornografi, perdagangan
perempuan dan anak (trafiking), dan media masa; Tindak kekerasan di ranah
publik ini dilakukan oleh orang lain di masyarakat atau di luar rumah tangga.
Kekerasan di Ranah Privat adalah kekerasan terhadap
perempuan dan anak yang terjadi dalam rumah tangga oleh pasangan atau mantan
pasangan dalam maupun di luar perkawinan yang mempunyai hubungan keluarga
darah, perkawinan, adat, adopsi, yang bekerja pada orang lain atau yang tinggal dan menetap pada orang lain;
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan dan anak, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, ekonomi,
perdagangan, pembatasan ruang gerak, dan ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Kekerasan Fisik adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, luka fisik/pingsan, cacat permanen,
gugurnya kandungan dan atau sampai menyebabkan kematian.
Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, penderitaan dan atau gangguan psikis.
Kekerasan Seksual adalah perbuatan yang ditunjukan
terhadap tubuh atau seksualitas seseorang untuk tujuan merendahkan martabat
serta integritas tubuh atau seksualitasnya yang berdampak secara fisik maupun
psikis termasuk dalam hal ini adalah pelecehan seksual.
Kekerasan Ekonomi adalah perbuatan yang
mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan
atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang
untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan
akses, kontrol dan partisipasi berkenaan dengan sumber‑sumber ekonomi.
Pembatasan Ruang Gerak adalah tindakan membatasi
atau melarang kepada seseorang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga seseorang itu berada di bawah kendali orang tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka
bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak meliputi:
a.
Kekerasan fisik
b.
Kekerasan psikis
c.
Kekerasan seksual
d.
Kekerasan ekonomi
e.
Trafiking
f.
Pembatasan ruang gerak.
b.
Anak
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
mendefinisikan bahwa Anak adalah seseorang yang
belum
berusia
18 (delapan
belas) tahun,
termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
Konsep
anak dilihat dari penampilan diri; Menurut Hurlock (1980:5) faktor yang
mempengaruhi sikap terhadap perubahan-perubahan dalam perkembangan adalah: 1) penampilan
diri, dimana perubahan-perubahan diri seeorang akan diterima dengan senang hati
dan mengarah kepada sikap yang menyenangkan, sedangkan perubahan-perubahan yang
mengurangi penampilan diri akan ditolak, dan segala cara akan diusahakan untuk menutupinya;
2) Perubahan peran, adalah sikap terhadap orang dari bermacam-macam usia sangat
dipengaruhi oleh peran yang mereka mainkan. Kalau orang mengubah peran mereka,
mereka kurang senang maka sikap terhadap mereka kurang simpatik.
Gambaran
masa perkembangan anak menurut Hurlock (1980:185) dimana masa kanak-kanak
perempuan usia 0 tahun (lahir) s.d usia 11 tahun dan masa puber 11 s.d 15
tahun; dan masa remaja 15 s.d 18 tahun; sedangkan masa kanak-kanak laki-laki
usia 0 tahun (lahir) s.d usia 12 tahun dan masa puber 12 s.d 16 tahun; dan masa
remaja 16 s.d 18 tahun, untuk jelasnya seperti tabel berikut:
Perempuan
|
Umur
|
Laki-Laki
|
|
Kanak-Kanak
|
0 – 11
|
0 – 12
|
Kanak-Kanak
|
Masa Puber
|
11 – 15
|
11 – 16
|
Masa Puber
|
Remaja
|
15 – 18
|
16 – 18
|
Remaja
|
Anak-Anak
|
2 – 13
|
2 – 14
|
Anak-Anak
|
Sumber: Hurlock (1980:185)
1)
Awal
dan Akhir Masa Kanak-kanak
Umumnya
orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang terpanjang dalam
rentang kehidupannya saat dimana individu relative tidak berdaya dan tergantung
pada orang lain. Bagi kebayakan anak (young children) atau selanjutnya
dikatakan “anak-anak” sering kali
dianggap tidak ada akhirnya sewaktu mereka tidak sabar menunggu saat pengakuan
yang didambakan anak dari masyarakat.
Hulock
(1980:108) menyatakan bahwa masa anak-anak dimulai setelah melewati masa bayi
yang penuh ketergantungan yakni ± dua tahun sampai saat anak matang secara
seksual 13 (tiga belas) tahun untuk wanita dan 14 (empat belas) tahun untuk
pria dimana anak yang sudah matang secara seksual maka anak ini disebut remaja.
Selama
periode yang panjang ini baik pria maupun wanita terjadilah sejumlah perubahan
yang mencolok baik secara pisik maupun psikologis karena tekanan budaya dan
harapan untuk menguasai hal-hal tertentu pada usia tertentu itu berbeda, maka
anak pada awal masa kanak-kanak agak berbeda dengan anak pada masa akhir
periode ini.
Masa
anak-anak dibagi menjadi dua periode yang berbeda yaitu periode awal
berlangsung dari umur dua s.d enam tahun, dan periode akhir mulai enam tahun
sampai dengan tiba saatnya anak matang secara seksualnya. Ciri-ciri masa
anak-anak menurut Hurlock (1980:108) tercermin dalam sebutan yang biasanya
diberikan oleh para orang tua, pendidik dan para akhli pesikologi. Sebutan yang
digunakan orang tua menganggap bahwa masa anak-anak sebagai usia yang
mengandung masalah atau usia sulit yang berkisar pada masalah perawatan psisik,
masalah perilaku yang lebih menyulitkan dari pada masalah perawatan pisik anak.
Masalah
perilaku sering terjadi pada masa anak-anak karena alasan anak mudah sedang dalam proses pengembangan
kepribadian yang unik dan menuntut
kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. Lagi pula anak yang lebih
muda sering kali “bandel, keras kepala, tidak menurut, negativities, dan
melawan, dan sering marah tanpa alasan, dan pada malam hari sering terganggu
dengan mimpi buruk dan pada siang hari sering merasa ketakutan yang tidak
rasional dan merasa cemburu”.
Sebutan
yang sering digunakan oleh para pendidik, menyebutkan bahwa tahun-tahun awal
anak-anak sebagai usia prasekolah dan anak-anak yang cukup tua baik secara
pisik dan mental untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mulai mengikuti
pendidikan formal.
Sebutan
yang digunakan oleh para akhli psikologi menggunakn sejumlah sebutan yang
berbeda dengan ciri-ciri yang menonjol
dari perkembangan psikologis anak yang digolongkan dengan usia
kelompok dilihat dari anak-anak mulai
mempelajari dasar-dasar prilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang
lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada saat disekolah.
Emosi
selama masa anak-anak, emosiaonal sangat kuat dan merupakan saat
ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar dari fokus” dalam arti bahwa
anak-anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehimgga sulit dibimbing dan
diarahkan. Hal ini tampak mencolok pada usia 2,5 s.d 6,5 tahun, meskipun pada
umumnya berlaku pada hampir seluruh periode masa anak-anak.
Pola-pola
emosi yang umum menurut Hurlock (1980:116) lebih mudah mengalami hampir semua
jenis emosi yang secara normal dialami oleh orang dewasa, namun rangsangan yang
membangkitkan emosi dan cara anak mengungkapkannya emosi yang sangat berbeda.
Emosi yang umum adalah Amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hari, gembira,
sedih, dan kasih sayang.
2)
Masa
Puber
Pubertas
adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak berubah dari mahluk
aseksual menjadi mahluk seksual. Masa Puber adalah suatu tahap dalam
perkembangan dimana menjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan
reproduksi, dan tahap ini disertai dengan
perubahan-perubahan dalam pertumbuhan somatic dan perspektif psikologis.
Pubertas
berasal dari kata latain yang berarti usia kedewasaan yang lebih merujuk pada
perubahan fisik dari pada perubahan prilaku yang terjadi pada saat individu
secara seksual menjadi matang dan mampu memberikan keturunan.
Hurlock
(1980:187) Usia pada masa puber dalam kebudayaan Amerika, saat ini kira-kira
50% anak perempuan menjadi matang antara 12,5 dan 14,5 tahun dengan kematangan
rata-rata 13 tahun; rata-rata anak laki-laki menjadi matang secara seksual
antara usia 14 s.d 16,5 tahun dengan 50% anak laki-laki yang matang antara 14
s.d 15,5 tahun
3)
Masa
remaja
Istilah
remaja atau adolescence menurut Hurlock (1980:206) berasal dari kata latin
adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa, dan saat ini kata
remaja atau adolescence yang digunakan saat itu mempunyai arti yang lebih luas
mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik. Menurut Piaget dalam
Hurlock (1980:207) masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat dari
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama
sekurang-kurangnya dalam masalah “Hak” termasuk intelektual, cara berfikir,
transformasi intelektual, integrasi dan hubungan sosial yang merupakan ciri
khas yang umum dari periode perkembangan saat ini.
c.
Kekerasan
Terhadap Anak
Menurut
WHO dalam Deby_Prisci, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang (masyarakat) yang mengakibtkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan
merupakan perilaku yang tidak sah atau perlakuan yang salah,kekerasan dapat
diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan cidera matinya orang lain dan
menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Kekerasan yang menyebabkan
terjadinya kerusakan adalah kekerasan
yang bertentangan dengan hukum, oleh
karena itu kekerasan dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan.
Terdapat
4 (empat) sifat kekerasan yang dapat didefinisikan yaitu: 1) kekerasan terbuka
(overt) kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian; 2) kekerasan tertutup
(covert) yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti
perilaku mengancam; 3) kekerasan agresif yaitu kekerasan yang tidak untuk
perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu; dan 4) kekerasan defensive
kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Kekerasan
umumnya ditujukan kepada kelompok yang lemah, anak merupakan satu kelompok yang
rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Manusia disebut sebagai anak dengan
pengukuran atau batasan usia; setip Negara diberikan peluang untuk menentukan
berapa usia manusia yang dikategorikan sebagai anak. Dinegara Negara ASEAN
khususnya Indonesia, berdasarkan undang-undang perlindungan anak No. 23 Tahun
2002 bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
Kekerasan
terhadap anak adalah semua bentuk tindakan perlakuan menyakitkan secara fisik
maupun emosianal, penyalahgunaan seksual, trafiking penelantaran, eksploitasi
komersial termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang mengakibatkan
cidera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan
hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam
konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Kekerasan
terhadap anak termasuk dalam perbutan disengaja yng dapat menimbulkan kerugian
atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional. Menurut Bakar dalam Deby_Prisci (20014:9),
kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara
fisik maupun emosi terhadap anak yang ketergantungn melalui desakan hasrat,
hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau
kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang
seharusnya merawat anak.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak [26-9-2017;
10:00] Kekerasan terhadap anak
adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau
pengabaian terhadap anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di
rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di
lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama
tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual
anak.
Endaryono
(2008:1) Dampak Kekerasan terhadap Anak. Moore (dalam Nataliani, 2004)
menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan
agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada
yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan
individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap
dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik,
seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Berdasarkan uraian di atas dampak kekerasan terhadap anak
antara lain:
a.
Kerusakan fisik atau luka fisik
b.
Anak akan menjadi individu yang kukrang
percaya diri, pendendam dan agresif
c.
Memiliki perilaku menyimpang,
seperti: menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol
sampai dengan kecenderungan bunuh diri.
d.
Jika anak mengalami kekerasan
seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa
rendah diri, dan lain-lain
e.
Pendidikan anak yang terabaikan.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut di atas, maka menurut penulis, kekerasan terhadap anak adalah perilaku yang
dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk
merusak, melukai, dan merugikan anak dan berdampak negatif untuk masa depan anak tersebut.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak:
a.
Kekerasan
fisik, kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial terhadap
anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain
b.
Kekerasan
seksual, kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya
yang meliputi eksploitasi seksual dlam prostitusi atau pornografi, perabaan,
memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan,
hubungan seksual yang dilakukan orang-orang yang mempunyai hubungn
darh(incest), dan sodomi
c.
Kekerasan
emosional, suatu perbuatan terhadap anak yng mengakibatkan atau sangat mungkin
akan mengakibatkan ganggun kesehatan atau perkembangan fisik, mental,
spiritual, moral dan social. Contohnya seperti pembatasan gerak, sikap tindak
yang meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek dan
menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atu penolakan.
d.
Penelantaran
anak, ketidak pedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas anak
pada kebutuhan mereka. Kelalaian dibidang kesehatan seperti penolakan atau
penundaan memperolleh kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi dan perawatan
medis. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos)
sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada jenjang pendidikan yang wajib
diikuti setiap anak, atau kekgagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.
Kelalaian dibidang fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang
tidak memadai. Kelalaian dibidang emosionl meliputi kurangnya perhatian,
penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan terhadap
pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alcohol dan narkoba
oleh anak.
e.
Eksploitasi
anak, penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dn
prostitusi, dimana kegiatan ini merusak dn merugikan kesehatan fisik dan
mental, perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan social-emosional anak.
Undang-Undang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“dieksploitasi secara
ekonomi”
adalah tindakan dengan atau
tanpa persetujuan Anak
yang menjadi korban
yang meliputi tetapi tidak terbatas pada
pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh
pihak lain untuk mendapatkan
keuntungan materiil.
“dieksploitasi secara
seksual” adalah segala
bentuk pemanfaatan
organ tubuh seksual atau organ
tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan,
termasuk
tetapi tidak terbatas
pada semua kegiatan pelacuran dan
pencabulan.
Menurut Suharto
dalam Deby_Priscika, mengelompokkan
kekerasan pada anak menjadi:
a.
Kekerasan
fisik, kekerasan anak secara fisik adalah kekerasan yang dilakukan seseorang
berupa melukai bagian tubuh nak seperti penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan
terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda benda tertentu yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian terhadap anak. Bentuk luka bisa
berupa lecet, atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul.
b.
Kekerasan
psikis yaitu kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, penghinaan,
penyampaian kata-kata kasar dan kotor. Pelaku biasanya melakukan tindakan
mental abuse, menyalahkan, meladeni atau juga mengkambinghitamkan. Anak yang
mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala prilaku mal-adaptif,
seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan
takut bertemu dengan orang lain.
c.
Kekerasan
seksual, kekerasan secara seksual adalah kekerasan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual antara ank dengan orang yang lebih besar (melalui kata,
sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung
antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
d.
Kekerasan
social, kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan
eksploitasi anak. Penelantaran anak
adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian terhadap
proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga,
atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan. Eksploitasi anak
menunjuk pada perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh,
memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan dan keuntungan ekonomi, sosial,
atau politik tanpa memperhatikan hak hak anak, misalnya anak dipaksa untuk
bekerja di pabrik yang membahayakan
dirinya dengan upah yang rendah dan tanpa peralatan yang memadai, atau
dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Penelantaran
anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan
kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk
menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan
untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk
mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau
membawa anak ke dokter).
Kekerasan fisik
adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini
dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar,
membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau
menguncang seorang anak. Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan
intrakranial, pembengkakan otak, cedera disfungsional, dan kekurangan oksigen
yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan
atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar.
Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik
Pelecehan seksual terhadap
anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran
yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk
mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta
atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari
hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan
pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak
fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik,
atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi
anak.
Pengaruh pelecehan seksual
anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia,
takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan
dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit
kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri,
keluhan somatik, depresi,
gangguan stres pasca trauma, kecemasan,
penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian). dan gangguan identitas disosiatif,
kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa,
bulimia
nervosa, cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya. Sekitar
15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual
ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang
yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling
sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan
teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah
yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
Pelecehan emosional adalah
yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan,
ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap
hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau
berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional
dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali
pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih
sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri
sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak
berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
Kematian, Sebuah kematian
akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak sebagai hasil dari
kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau pengabaian menjadi
faktor yang berkontribusi untuk kematian anak.
BAB II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.1.
Analisis
Kekerasan
terhadap anak di Indonesia menurut Komnas Perlindungan Anak (KPA) Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (data diolah) seperti dalam grafik sbb:
1)
Jumlah
kasus kekerasan terhadap anak tahun 2007 s.d 2014
Berdasarkan Data
sekunder dari Polda Provinsi Lampung, peningkatan jumlah kekerasan dari tahun
ke tahun relati tinggi mulai dari periode 2007 sebanyak 1.510 kasus s.d periode
2013 menjadi 3.339 kasus, artinya ada penurunan menjadi 2.750 kasus (tahun
2014).
2)
Jika
diperhatikan angka relatifnya menunjukkan bahwa periode 2007-2008 sebesar 316
kasus, tahun 2008-2009 sebesar 160 kasus, tahun 2009-2010 sebesar 57 kasus, tahun 2010-2011 sebesar 416
kasus, tahun 2011-2012 sebesar 175 kasus, tahun 2012-2013 sebesar 702 kasus dan
tahun 2013-2014 menurun 589 kasus.
3)
Secara
keseluruhan mulai tahun 2007 s.d 2014 menunjukkan kenaikan jumlah kekerasan terhadap anaksecara linier.
Grafik 1:
Kekerasan terhadap anak di Indonesia (KPA)
Melihat grafik
tersebut di atas menunjukkan bahwa secara absolut semakin banyak jumlah kasus
kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dimana pada tahun 2007
sebanyak 1.510 kasus dan terus meningkat menjadi 3.339 kasus pada tahun 2013,
maskipun pada tahun 2014 terlihat ada penurunan menjadi 2.750 kasus, dan secara
linier rata-rata kasus kekerasan terhadap anak meningkat setiap tahun. Hasil
dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sumber kekerasan terhadap anak akibat dari faktor 1) lingkungan sosial 56%; 2)
lingkungan sekolah 17%; 3) lingkungan keluarga 24%, 4) sebesar 3% di luar faktor
tersebut.
Imam Syafei
(2016:25) memaparkan data hasil penelitian tentang jumlah kekerasan terhadap
anak yang diakses menurut KPAI dari media pada Januari 2016 yang lalu,
menunjukkan jumlah kekerasan anak di Indonesia dan Provinsi Lampung selama
periode 2011 s.d 2014 (data diolah) sebagai berikut:
Grafik 2:
Kekerasan terhadap anak di Indonesia (KPA)
Sumber: KPAI dalam M. Imam Syafei,
2016.
Diakses
pada 22 Januari 2016. (Data Diolah)
Memperhatikan
grafik 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa di Indonesia secara absolut pada
tahun 2011 s.d 2014 secara linier jumlah
kasus kekerasan terhadap anak selalu meningkat dari 2.178 kasus pada tahun 2011
menjadi 5.066 kasus pada tahun 2014, artinya secara umum kekerasan terhadap
anak di Indonesia semakin meningkat.
Grafik 3: Kekerasan terhadap anak di Provinsi
Lampung
Sumber: KPAI dalam M.
Imam Syafei,
2016. Diakses pada 22 Januari
2016.
Berdasarkan
grafik 3 tersebut di atas, juga menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola
kekerasan terhadap anak di Indonesia,
dimana di Provinsi Lampung pada tahun 2011 kasus kekerasan terhadap anak
mencapai 213 kasus dan meningkat menjadi 225 kasus, tahun 2013 meningkat
menjadi 308 kasus, dan pada tahun 2014 menurun menjadi 252 kasus.
Data
dalam tabel 2.1 di bawah ini secara rinci menunjukkan besarnya presentase kasus kekerasan terhadap anak berdasarkan
jenis kasus kekerasan mulai tahun 2012 s.d tahun 2015, yaitu kasus perkosaan
(Pk), Pencurian (Pcc), Penganiayaan (Pe, Penelantaran anak (Pa), melarikan anak
di bawah umur (Padu), Pengeroyokan (Py), Penipuan (Pi), Perjudian (Pj), dan
perbuatan tidak menyenangkan (Ptm).
Tabel 2.1: Data
Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2012-2015
Di Provinsi
Lampung
No.
|
Jenis Kasus
|
Tahun
|
|||
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
||
1.
|
Perkosaan
(Pk)
|
71 (51,45)
|
90
(53,89)
|
130 (63,41)
|
112 (49,56)
|
2.
|
Pencurian,
curat, curas (Pcc)
|
17 (12,32)
|
19
(11,38)
|
29
(14,15)
|
15
(6,64)
|
3.
|
Penganiayaan
(Pe)
|
11 (7,97)
|
8 (4,79)
|
17 (8,29)
|
41 (18,14)
|
4.
|
Penelantaran
Anak (Pa)
|
4 (2,90)
|
7 (4,19)
|
2 (0,97)
|
4 (1,77)
|
5.
|
Melarikan
anak dibawah umur (Padu)
|
23 (16,67)
|
36 (21,56)
|
18 (8,78)
|
31 (13,72)
|
6.
|
Pengeroyokan
(Py)
|
5 (3,62)
|
3 (1,80)
|
4 (1,95)
|
8 (3,54)
|
7.
|
Penipuan
(Pi)
|
5 (3,62)
|
3 (1,80)
|
4 (1,95)
|
1 (0,44)
|
8.
|
Perjudian
(Pj)
|
-
|
-
|
-
|
1 (0,44)
|
9.
|
Perbuatan
Tidak Menyenangkan (Ptm)
|
2 (1,45)
|
1 (0,60)
|
1 (0,05)
|
2 (0,88)
|
Jumlah…..
|
138
|
167
|
205
|
226
|
Sumber Data:
Polda Lampung (Januari 2016) Data Diolah
Data dalam tabel 2.1 di atas digambarkan
dalam Grafik 4 di bawah ini bahwa dari 9 kasus pada tahun 2012 menunjukkan
kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (51,45%); kemudian
Melarikan anak di bawah umur/Padu (16,67%); pencurian rurat dan curas/Pcc
(12,32%); penganiayaan/Pe (7,98%); pengeroyokan/Py dan penipuan/Pi
masing-masing (3,62%) penelantaran anak/Pa (2,90%); perbuatan tidak
menyenangkan/Ptm (1,45%), dan tahun 2012
tidak terdapat kasus kekerasan
perjudian/Pj.
Grafik 4: Kekerasan
Terhadap Anak Tahun 2012)
Data dalam Grafik 5 kasus kekerasan
tahun 2013 di bawah ini menunjukkan bahwa dari 9 kasus menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (53,89%); kemudian
Melarikan anak di bawah umur/padu (21,56%); pencurian rurat dan curas/Pcc
(11,38%); penganiayaan/Pe (4,79%); penelantaran anak/Pa (4,19%) pengeroyokan/Py
dan penipuan/Pi masing-masing (1,8%); dan perbuatan tidak menyenangkan/Ptm (0,06%) dan tahun 2013 tidah terdapat kasus
kekerasan perjudian/Pj.
Grafik 5:
Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2013)
Data dalam Grafik 6 di bawah ini
menunjukkan kasus kekerasan tahun
2014 menunjukkan bahwa dari 9 kasus
menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk
(63,41%); pencurian rurat dan curas/Pcc (14,15%); kemudian Melarikan anak di
bawah umur/padu (8,78%); penganiayaan/Pe (8,29%); pengeroyokan/Py dan
penipuan/Pi masing-masing (1,95%), penelantaran anak/Pa (0,97%); dan perbuatan
tidak menyenangkan/Ptm (0,05%) dan tahun
2013 tidah terdapat kasus kekerasan perjudian/Pj.
Grafik 6:
Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2013)
Data dalam Grafik 7 di bawah ini
menunjukkan kasus kekerasan tahun 2015 bahwa dari 9 kasus menunjukkan bahwa
kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (49%); penganiayaan/Pe
(18,14%); Melarikan anak di bawah umur/padu (13,72%); pencurian rurat dan
curas/Pcc (6,64%); pengeroyokan/Py (3,54%);
penelantaran anak/Pa (1,77%); perbuatan tidak menyenangkan/Ptm (0,05%); penipuan/Pi dan Perjudian/Pj
masing-masing (0,44%).
Grafik 7:
Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2015)
Perkembangan
kekerasan terhadap anak Berdasarkan Jenis Kasus (Tahun 2012-2015)
Kekerasan
terhadap anak kasus perkosaan secara absolut menunjukkan peningkatan dimana
pada tahun 2012 sebanyak 71 kasus, tahun 2013 sebanyak 90 kasus, tahun 2014
sebanyak 130 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 112 kasus. Kalau kita perhatikan
pada tahun 2014-2015 terjadi penurunan, namun cukup kecil penurunan tersebut.
Grafik 8:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Perkosaan
2012-2015
Grafik 9 di bawah ini kekersan terhadap
anak jenis kasus pencurian juga menunjukkan jumlah yang meningkat dari tahun
2012 s.d tahun 2014 dan pada tahun 2015 menunjukkan penurunan sampai angkanya
lebih kecil dari kasus pencurian tahun 2012 dan tahun 2013. Meskpun terdapat
kecenderungan penurunan tersebut, tetapi selalu waspada agar penurunan tersebut
berlanjut pada tahun-tahun berikutnya semakin kecil angka kasus pencurian
tersebut.
Grafik 9:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Pencurian
2012-2015
Grafik 10 di bawah
ini terlihat bahwa kasus penelantaran anak meskipun jumlahnya kecil, namun hal
ini menjadi perhatian karena ternyata setelah
periode 2012 -203 menunjukkan peningkatan sebanyak 3 kasus, tahun 2014 menurun
sebanyak 5 kasus, dan pada tahun 2015 kembali meningkat menjadi 4 kasus.
Grafik 10:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Penelantaran
Anak 2012-2015
Grafik
11 di bawah ini juga menunjukkan bahwa kasus melarikan anak di bawah umur pada tahun 2012 sebanyak 23 kasus, kemudian
meningkat menjadi 36 kasus tahun 2013, menurun menjadi 18 kasus pada tahun
2014, dan terus meningkat lagi menjadi 31 kasus pada tahun 2015. Data dalam
Grafik 11 ini secara umum kasus melarikan anak di bawah umur masih menunjukkan
peningkatan..
Grafik 11:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Melarikan
Anak Dibawa Umur
2012-2015
Grafik 12 di bawah ini juga menunjukkan bahwa kasus pengeroyokan pada tahun 2012 sebanyak 5 kasus, kemudian
menurun menjadi 3 kasus tahun 2013, meningkat kembali menjadi 4 kasus pada
tahun 2014, dan terus meningkat lagi menjadi 8 kasus pada tahun 2015. Data
dalam Grafik 11 ini secara umum kasus pengeroyokan masih menunjukkan
peningkatan.
Grafik 12:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus
Pengeroyokan 2012-2015
Grafik 13 di bawah ini terlihat bahwa kekerasan terhadap anak kasus
penipuan pada tahun 2012 sebanyak 5 kasus, tahun 2013 menurun menjadi 3 kasus,
tahun 2014 meningkat menjadi 4 kasus, dan pada tahun 2015 juga kembali menurun
menjadi 1 kasus.
Grafik 13:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Penipuan
2012-2015
Grafik 14 di
bawah ini juga menunjukkan bahwa selama tahun 2012 s.d 2013 tidak terdapat
kasus perjudian, namun pada tahun 2015 terdpat 1 kasus perjudian.
Grafik 14:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Perjudian
2012-2015
Grafik 15 di
bawah ini tentang perbuatan tidak menyenangkan juga menunjukkan bahwa pada
tahun 2012 sebanyak 2 kasus, tahun 2013 turun menjadi 1 kasus, tahun 2014 juga
tetap 1 kasus, dan pada tahun 2015 kembali meningkat menjadi 2 kasus.
Grafik 15:
Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Perbuatan
Tidak Menyenangkan 2012-2015
Kekerasan Terhadap Anak Menurut
Kabupaten/Kota Tahun 2014
Kekerasan
terhadap anak berdasarkan kabupaten/kota/provinsi periode Januari s.d Desember tahun 2014, garfik 16 di bawah ini
menunjukkan bahwa presentase tertinggi berada di wilayah kota Bandar Lampung
sebesar 32,14 persen, dan sekitar 10 persen di Kabupaten Tanggamus dan Kota Metro,
dan persentase yang sama sebesar 7,14
persen adalah Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten
Way Kanan. Persentase 5,95 s.d 6,35% adalah Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara, dan Kabupaten Lampung Barat,
sedangkan persentase di bawah 4 persen adalah Polda Lampung dan Kabupaten
Tulang Bawang, dan terdapat 4 Kabupaten dengan di bawah 1 s.d 0 persen
adalah Kabupaten Pringsewu, Kabupaten
Pasawaran, Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Mesuji.
Grafik 16:
Kekerasan Terhadap Anak
Berdasarkan
Kab/Kota/Prov Periode Januari-Desember Tahun 2014
Sumber: Data
polda
Lampung 2015 (Data Diolah)
2.2.
Pembahasan
Undang-Unadang
No. 35 Tahun 2014 menegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
lembaga negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak,
dimana perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud diberikan kepada:
1.
Anak
dalam situasi darurat;
2.
Anak
yang berhadapan dengan hukum;
3.
Anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi;
4.
Anak
yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
5.
Anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya;
6.
Anak
yang menjadi korban pornografi;
7.
Anak
dengan HIV/AIDS;
8.
Anak
korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
9.
Anak
korban Kekerasan fisik
dan/atau psikis;
10.
Anak
korban kejahatan seksual;
11.
Anak
korban jaringan
terorisme;
12.
Anak
Penyandang Disabilitas;
13.
Anak
korban perlakuan salah dan penelantaran
14.
Anak
dengan perilaku sosial menyimpang; dan
15.
Anak
yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tersebut, pemberian perlindungan seperti
kepada 15 khusus anak tersebut di atas, tentunya khusus kekerasan terhadap anak
dengan kasus yang berbeda-beda dibatasi pada 9 (Sembilan) kasus dan perlu
dilakukan pembahasan dari hasil analisis tersebut di atas yaitu:
1.
Perkosaan
2.
Pencurian,
curat, curas
3.
Penganiayaan
4.
Penelantaran
anak
5.
Melarikan
anak di bawah umur
6.
Pengeroyokan
7.
Penipuan
8.
Perjudian
dan
9.
Perbuatan
yang tidak menyenangkan
Kekerasan
terhadap anak apapun bentuknya kasusnya tidak bisa dibiarkan karena sangat
merugikan hidup anak tersebut sampai dewasa bahkan selama hidupnya di dunia ini
dan hal ini menjadi ancaman bagi negara kita Indonesia ketika kekerasan
terhadap anak dibiarkan berlanjut, karena anak-anak yang mengalami kekerasan
tersebut adalah sebagian dari generasi
penerus pembangunan bangsa kita Indonesia.
Terdapat
kekerasan terhadap anak dengan beberapa kasus yang sangat memprihatinkan adalah
perkosaan, melarikan anak di bawah umur dan pencurian. Ketiga kasus tersebut
semakin tahun semakin tinggi presentasenya dan perlu mendapatkan perhatian
khusus dan serius oleh pemerintah untuk menghentikan terjadinya kekerasan
terhadap anak dimasa yang akan datang.
Kekerasan
terhadap anak kasus perkosaan terus meningkat, hal ini sangat memprihatinkan
karena terutama bagi anak perempuan yang meliputi eksploitasi seksual dalam hal
prostitusi, pornografi, pemaksaan anak untuk memegang kemaluan, hubungan
seksual, perkosaan, dan sodomi.
Peningkatan
persentase kekerasan terhadap anak kasus perkosaan ini juga terjadi karena
berbagai faktor kemajuan teknologi digital seperti handphone yang canggih,
pergaulan, kepercayaan orang tua kepada pengasuh yang tanpa control, kurangnya
pengawasan guru disekolah, belum memahaminya anak terhadap perkembangan di usia
tergolong anak, penampilan, balas dendam orang dekat maupun orang yang tidak
dikenal terhadap orang tua anak dimana sasarannya adalah anak-anaknya.
Fenomena
ini menggambarkan bahwa kekerasan terhadap anak kasus perkosaan yang semakin
meningkat lebih banyak terjadi oleh pelaku yang dekat dengan korban berada.
Kita pahami bahwa yang tegolong anak pada umumnya masih belum memahami tentang
apa arti perkosaan dan dampak dari perkosaan tersebut dan anak anak lebih cepat
percaya dengan bujuk-rayuan yang membawa mereka kepada kasus perkosaan.
Bujuk-rayu mulai dari makanan, pandangan ketampanan, uang, baju baru, mainan, suka
kepada lawan jenis meskipun belum waktunya, seringnya melihat film2 porno via
teknologi Handphone, rasa ingin tahu untuk berhubungan seks, sampai kepada
hilangnya pengendalian diri karena ketrtarikan terhadap lawan jenis. Sekarang
ini khusus handphone/smartphone untuk anak-anak tidak bisa lagi dilarang dan
bahkan sengaja dibeliin orang tua dengan maksud untuk perlancar komunikasi,
namun anak-anak sekarang udah lebih canggih menggunakan handphone/smartphone
disbanding orang tuanya. Umumnya anak yang mengalami kekerasan kasus perkosaan
selalu merasa takut, tidak percaya pada orang lain, rendah diri, merasa tidak
berharga lagi, rasa malu pada semua orang, dan bahkan mengalami gangguan jiwa.
Kekersan
terhadap anak kasus penganiayaan juga menungnjukkan persentase yang cukup
tinggi dan meningkat setiap tahunnya, dan kasus ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, dan menurut penulis faktor tersebut adalah karena faktor
internal dalam keluarga atau faktor eksternal. Faktor internal dalam keluarga
seperti perselisihan orang tua anak tersebut dimana yang menjadi korban adalah
anak tersebut, pemahaman yang salah terhadap anak dengan memberi istilah
“nakal”, pengendalian emosional orang tua/keluarga yang mengarah kepada
kekerasan kasus penganiayaan.
Faktor
eksternal yang mempengaruhi terjadinya kekerasan kasus penganiayaan adalah,
lingkungan bermain, lingkungan sekolah, kelompok pergaulan tertentu dari anak
tersebut, dan masyarakat secara umum. Penganiayaan terjadi karena
kesalahpahaman atau adanya perbedaan antara korban dengan yang melakukan
kekerasan kasus penganiayaan.
Akibat
dari kekerasan terhadap anak kasus penganiayaan akan mengakibatkan pengaruh
terhadap pisik dan psikis yang berkepanjangan dari anak yang menjadi korban
tersebut. Dmpak terhadap faktor internal dan eksernal adalah anak mengalami
ketakutan, minder/rendah diri, cacat fisik dan sebagainya.
Kekerasan
anak kasus melarikan anak di bawa umur yang semakin tahun semakin meningkat ini
merupakan suatu kasus yang mengarah kepada balas dendam, keretakan keluarga,
pemanfaatan untuk mendapatkan tambahan ekomomi, dijadikan pelampiasan nafsu
seks, karena budaya seperti ingin menikah tetapi tidak disetujui oleh salah
satu atau kedua orang tua salah satu atau kedua belah pihak orang tua,
penjualan anak, dsb.
2.3.
Kasus
Kekerasan Orang Tua (Suami/Ayah) terhadap anaknya
Pembahasan
kekerasan terhadap anak ini memang memerlukan suatu kajian dan di dukung dengan
data dan fakta yang benar-benar memberikan kepercayaan kepada pembaca tentang
keberadaan kasus kekerasan tersebut. Salah satu kasus yang terjadi dan masih
hangat adalah satu kasus di daerah lain yang menurut penulis ada kesamaan
dengan kasus di daerah Provinsi Lampung.
Sebelum
kita membahas kasus ini, seorang ibu muda ini memohon kepada penulis agar
merahasiakan identitas baik orang tua (suami) yang melakukan kekerasan dan
identitas anak yang menerima perlakuan kasus kekerasan tersebut, dan kasus ini
terjadi di wilayah kota makasar.
Kasus
yang terjadi terhadap seorang anak yang penulis dapatkan via curhat seorang ibu
muda pada tanggal 7 Juni 2017 jam 17:25 yang diawali dengan kalimat bahwa “saya
ingin curhat, saya benar-benar sedih karena suamiku mukul anakku dan ini sudah
yang ke 3 (tiga) kalinya dan pipi anakku
di tampar yang ketiga kali pula, bahkan menampar pipi anakku yang ke 2 (dua)
kali dilakukan suamiku di depan ibu, bapak (Mertua suamiku) dan adikku,
sehingga ibu dan adikku sampe menangis melihat kejadian penamparan terhadap
anak saya.
Ibu
muda ini menuliskan curhatnya bahwa anaknya memang sangat aktif dan tidak mau
diam dan tidak terlalu suka kalau didekap/dipeluk oleh suaminya. Suaminya
jarang ada waktu buat anaknya karena kerja dari senin sampai dengan jum’at dan giliran hari sabtu dan minggu (libur/tidak
kerja) main sama anaknya hanya 30 menit saja, setelah itu keluar kewarung kopi
bersama teman-temannya sehingga anaknya ini lebih banyak menghabiskan waktunya
bersama bundanya.
Kejadian
yang pertama; awal pertama terjadi pemukulan suami terhadap anaknya sudah malam
(setahun yang lalu) sekitar bulan februari 2016 (tanggalnya lupa), seperti
biasa anakku main-main di kamar bersama suaminya, selanjutnya ditengah
keseriusan main, kemudian suaminya mengeluh capek main, tapi anaknya masih
semangat karena jarang ketemu bermain bersama, Anak yang masih mau bermain dan suaminya
udah nggak mau main tapi anaknya masih terus ganggu suaminya tuk supaya main
lagi, sehingga karena semangat anaknya yang begitu besar dengan reflex anak
tersebut mukul suaminya yang sudah nggak mau main lagi. Disaat itu suaminya
marah terus dipululinya dada anaknya dan
anaknya kesakitan sampai menangis tersedu-sedu. Bundanya hanya bisa terdiam sambil
memeluk anaknya dan diam-diam bundanya juga menangis. Hari berikutnya
(besoknya) anaknya ini merasa ketakutan sama suaminya dan dibuat kesepakatan suaminya
minta maaf kepada anaknya dan sebaliknya.
BAB III
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis dan pembahasan tersebut di atas, maka beberpa kesimpulan yang
dapat dituangkan disini adalah:
a.
Kekerasan
terhadap anak yang telah dilakukan analisis mulai dari kekerasan terhadap anak
kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di
bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan kasus perbuatan tidak menyenangkan, setiap
tahun persentasenya meningkat.
b.
Kita
pahami bahwa anak adalah asset bangsa
juga sebagai modal manusia (human
capital) dan investasi manusia (human
investmen) yang harus dirawat dan dijaga, dipelihara serta dikembangkan sesuai dengan harapan yang
diinginkan oleh anak tersebut juga sesuai dengan harapan pemerintah yaitu
harapan yang positif untuk masa depan bangsa dan Negara, dan kita yang sekarang
ini sudah tidak tergolong anak lagi tentunya akan tergantikan dengan anak-anak
yang kita harapkan tersebut dan proses ini adalah proses alamiah.
c.
Perkembangan
hidup anak dilingkungan dimanapun anak tersebut berada secara normal terlihat
dari perilaku rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan ini tidak/kurang dipahami
oleh lingkungannya sehingga anak menjadi sasaran ketidak tahuan tersebut yang
mengarah kepada terjadinya kekerasan terhadap anak.
d.
Pola
pikir anak dengan orang dewasa yang ada dilingkungnnya tentunya berbeda
sehingga pemikiran terutama orang dewasa yang terkait dengan perbedaan ini
perlu diperkecil dan bahkan dihilangkan melalui advokasi.
3.2.
Rekomendasi
a.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas,
upaya mengatasi/memperkecil/ menghilangkan terjadinya kekerasan terhadap anak kasus perkosaan,
pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur,
pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan
kasus perbuatan tidak menyenangkan maka perlu dilakukan advokasi oleh
organisasi/badan/lembaga/ instansi yang terkait dan merupakan suatu upaya
persuasi yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran rasionalisasi, argumentasi
dan rekomendasi tindak lanjut kekerasan terhadap anak tersebut.
b.
Mengatasi perilaku bagi pelaku kekerasan
terhadap anak, maka direkomendasikan untuk dilakukan seminar atau workshop,
sosialisasi, dan bimbingan teknis oeleh
BPSDM Provinsi Lampung
DAFTAR PUSTAKA
Deby_Priscika,
2015., Kekerasan Terhadap Anak, eprints.undip.ac.id
Elizabeth
B. Hurloch, 1980., Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, Erlangga:Jakarta.
Endaryono,
Dampak Kekerasan Terhadap Anak (Pahami, ambil sikap dan action) dalam https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/ [26-9-2017;
10:46]
Masri
Singarimbun, 1998., Kelangsungan Hidup Anak (Berbagai Teori, Pendekatan dan
Kebijakan, Gadjah Mada University Press:Yogyakarta
M. Imam Syafei,
2016., Interaksi Stakeholder Dalam Menangani Kasus Kekerasan Anak
Di Kota Bandar Lampung, Unila:Bandar Lampung
http://lampungprov.go.id/berita/save-the-children-mengadakan-terapi-psikososial-anak-dan-keluarga.html [6/7/2017;
19:44]
https://www.facebook.com/notes/save-the-children-indonesia/indonesia-darurat-kekerasan-terhadap-anak-program-family-first-terbukti-berhasil/988786807906628/ [6/7/2017;
19:56]
http://www.kompasiana.com/ikhwanulparis/10-catatan-penting-akhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-yang-meluas_586fb4bd539773b00addca99 [6/7/2017;
19:12]
http://www.lampost.co/berita-kasus-kekerasan-terhadap-anak-di-lampung-selatan-meningkat [26-09-2017;
20:48]
Peraturan
Daerah Provinsi Lampung (Perda) Nomor 6 Tahun 2006 (6/2006) Tentang Pelayanan Terpadu Terhadap Perempuan Dan Anak
Korban Tindak Kekerasan
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak