Monday, 5 March 2018

ANALISIS KEKERASAN TERHADAP ANAK DI PROVINSI LAMPUNG


ABSTRAK
Oleh: DR. Bovie Kawulusan., M.Si

Kita pahami bahwa anak adalah asset bangsa  juga sebagai modal manusia (human capital) dan investasi manusia (human investmen) yang harus dirawat dan dijaga, dipelihara  serta dikembangkan sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh anak tersebut juga sesuai dengan harapan pemerintah yaitu harapan yang positif untuk masa depan bangsa dan Negara, dan kita yang sekarang ini sudah tidak tergolong anak lagi tentunya akan tergantikan dengan anak-anak yang kita harapkan tersebut dan proses ini adalah proses alamiah.
Perkembangan hidup anak dilingkungan dimanapun anak tersebut berada secara normal terlihat dari perilaku rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan ini tidak/kurang dipahami oleh lingkungannya sehingga anak menjadi sasaran ketidak tahuan tersebut yang mengarah kepada terjadinya kekerasan terhadap anak.
Kekerasan terhadap anak yang telah dilakukan analisis mulai dari kekerasan terhadap anak kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan  kasus perbuatan tidak menyenangkan, setiap tahun persentasenya meningkat.
Pola pikir anak dengan orang dewasa yang ada dilingkungnnya tentunya berbeda sehingga pemikiran terutama orang dewasa yang terkait dengan perbedaan ini perlu diperkecil dan bahkan dihilangkan melalui advokasi.Upaya mengatasi/memperkecil/ menghilangkan terjadinya  kekerasan terhadap anak kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan  kasus perbuatan tidak menyenangkan maka perlu dilakukan advokasi oleh organisasi/badan/lembaga/ instansi yang terkait dan merupakan suatu upaya persuasi yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut kekerasan terhadap anak tersebut.

Key word: Kekerasan, Anak

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Berbicara tentang anak ditinjau dari berbagai segi dan tentunya harus dikaitkan dengan masa depan anak itu sendiri, masa depan keluarga, masa depan bangsa dan Negara, dan kasus kekerasan terhadap anak sudah merupakan konsumsi yang sangat dibutuhkan oleh Negara-negara diberbagai penjuru dunia yang artinya sudah merupakan permasalahan internasional.
Anak-anak yang sekarang hadir dan hidup di dunia ini merupakan harapan dan keinginan orang tua baik yang direncanakan ataupun tidak direncanakan dengan proses mulai dari Rahim seorang ibu sampai lahir ke dunia ini dengan tanpa sepengetahuan anak tersebut untuk apa dia dilahirkan dan hidup di dunia ini. Melalui proses kehamilan s.d kelairan anak tentunya tidak mudah bagi seorang ibu mengurus/merawat mulai dari hamil dan pasca melahirkan dengan segala risiko, kedokter, ke rumah sakit, ke puskesmas, ke tenaga medis untuk kesehatan dan keselamatan anak tersebut dengan ukuran waktu, biaya, tenaga, perasaan dan sebagainya yang dirasakan oleh seorang ibu.
Anak yang saat dilahirkan tidak mengetahui apa yang diinginkan padanya oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa dan Negara, namun demikian dlam proses kehidupannya dan sesuai dengan perkembangan anak, tentunya semakin hari semakin terlihat perkembangan baik fisik maupun perkembagan psikisnya.
Anak yang dikatakan normal proses perkembangan kehidupannya juga terlihat dari rasa ingin taunya sangat tinggi yang terkadang tidak dipahami oleh orang tua, keluarga, masyarakat yang dekat dengannya dalam hal situasi apapun, dan sering juga disamaratakan cara dan pola pikit dan prilaku anak dengan orang dewasa dan banyak orang yang dewasa bahkan berprilaku terhadap anak  yang tidak sesuai dengan harapan serta kemampuan anak baik fisik maupun mental anak tersebut sehingga timbuk kekecewaan orang tua yang diikuti emosional dgn prilaku yang tidak seharusnya diterima oleh anak tersebut dalam bentuk kekerasan.
Kita pahami bahwa anak adalah asset bangsa sebagai modal manusia (human capital), dan investasi manusia (human investmen) sehingga asset tersebut harus dirawat dan dipelihara serta dikembangkan dengan berbagai cara agar anak tersebut benar-benar tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan yang diinginkan, dan tentunya harapan yang positif untuk masa depan bangsa dan Negara. Bagi kita yang termasuk dewasa tentunya suatu saat akan  keluaratau terpinggirkan dari lingkungan karena ketidak mampuan akibat proses menjadi tua dan tidak produktif sehingga pada suatu saat akan digantikan oleh generasi berikut yaitu anak-anak kita yang tentunya semakin menjadi anak, semaja, dan dewasa yang produktif.
Namun demikian ketika dalam proses menjadi remaja, dewasa yang produktif terkadang mengalami hambatan dalam kegidupannya akibat perlakuan atau prilaku dari berbagai pihak yang mengakibatkan terjadinya hambatan baik dalam berkreasi, berpendapat, dan berprilaku positif dalam menghadapi perkembangan lingkungannya.
Ketika memahami data yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun, dan hasil Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus,” kata Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti kepada Harian Terbit, Minggu (14/6/2015). KPAI memaparkan, 5 kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6.006 kasus, selanjutnya, kasus pengasuhan 3.160 kasus, pendidikan 1.764 kasus, kesehatan dan napza 1.366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1.032 kasus. Anak juga bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan tempat terjadinya kekerasan pada anak di 3 (tiga) area yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat.
Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91,0 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat. Perilaku kekerasan juga terbaik dimana 78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya.
Pelaku kekerasan pada anak bisa dibagi menjadi tiga: 1) orang tua, keluarga, atau orang yang dekat di lingkungan rumah; 2)  tenaga kependidikan yaitu guru dan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah seperti cleaning service, tukang kantin, satpam, sopir antar jemput yang disediakan sekolah; 3) orang yang tidak dikenal. Berdasarkan data KPAI di atas tersebut, anak korban kekerasan di lingkungan masyarakat jumlahnya termasuk rendah yaitu 17,9 persen.
Di Provinsi Lampung kekerasan terhadap anak seperti salah satu contoh http://www.lampost.co/berita-kasus-kekerasan-terhadap-anak-di-lampung-selatan-meningkat [26-09-2017; 20:48] di kabupaten Lampung Selatan Sepanjang tahun 2016 kekerasan terhadap anak dan perempuan di Lampung Selatan sedikit ada peningkatan dari tahun sebelumnya. Tercatat sebanyak 47 kasus terjadi sepanjang tahun 2016, sedangkan tahun 2015 sebanyak 41 kasus.
Kepala Unit IV, Pelayanan Anak dan Perempuan (PPA) Sat Reskrim Polres Lampung Selatan, Aiptu Arifin mewakili Kapolres Lampung Selatan, AKBP Adi Ferdian Saputra mengatakan dari beberapa kekerasan terhadap perempuan dan anak, angka persetubuhan anak di bawah umur yang naik siginifikan.
Angka kasus persetubuhan anak dibawah umur naik signifikan dibandingkan yang lainnya, kata Arifin, Senin (13/2/2017), sedangkan angka pencabulan terhadap anak, sama jumlah kasusnya antara tahun 2015 dengan 2016. Untuk penganiayaan terhadap anak ada kenaikan dari 2 kasus menjadi 4 kasus pada tahun 2016.
Kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung tampaknya kian mengkhawatirkan, baik itu yang terungkap ke publik maupun masih tersembunyi.
Baru-baru ini, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung merawat gadis di bawah umur yang diduga menjadi korban penganiayaan dan pelecehan seksual. Hingga Senin (8/8/2016), pihak RSUDAM belum dapat mengetahui identitas pasien tersebut, mengingat anak gadis yang diperkirakan berusia 12 tahun itu kondisinya masih belum bisa makan dan minum karena bagian bibirnya masih luka. Gadis itu diduga mengalami kekerasan dan pemerkosaan. Ia ditemukan warga di pinggiran trotoar depan pusat grosir pakaian Mangga Dua Kelurahan Sukaraja Kecamatan Telukbetung Selatan, Selasa pekan lalu. Saat ditemukan, kondisi gadis itu sangat memprihatinkan, mengalami luka di bagian bibir, wajah dan bagian kemaluannya serta bagian tubuhnya dipenuhi luka lebam. Pada rambutnya juga tampak bekas dipotong secara paksa.
Sebelumnya, Kasda (32), warga Dusun Tanjung Bayur Desa Tanjungan Kecamatan Katibung Kabupaten Lampung Selatan berurusan dengan kepolisian setelah disangka membunuh kedua anaknya Alka (4) dan Yuda (2) di kamar tidurnya bulan lalu. Sementara itu, istrinya, Ojah (30) mengalami luka-luka parah akibat bacokan di bagian belakang kepala. Kasus itu ditangani kepolisian setempat. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Lampung masih saja terus terjadi dengan kecenderungan terus meningkat.
Per 1 Mei 2016, berdasarkan data kasus ditangani Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)-Lamban Indoman Putri Provinsi Lampung, telah terjadi 85 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tahun 2016 ini diperkirakan akan lebih banyak kasus kekerasan dibandingkan tahun 2015. Sebagai catatan, menurut Heni Astuti, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung, total tercatat 95 kasus kekerasan pada anak dan perempuan pada tahun lalu. Sementar itu, Lembaga Advokasi Anak (LAdA) dan Lembaga Advokasi Perempuan Damar mencatat sebanyak 21 kasus kejahatan seksual terhadap anak di Lampung terjadi dalam kurun waktu lima bulan pertama 2016. Sebanyak 49 anak menjadi korban, dua di antaranya meninggal dunia. Artinya, sembilan sampai 10 anak di Lampung menjadi korban kekerasan seksual setiap bulan.
Direktur Eksekutif LAdA Lampung Turaihan Aldi menilai, kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak di Lampung terbilang mengkhawatirkan. Menurutnya, selain dalam lingkungan keluarga, di sekolah pun anak-anak bisa menjadi korban kekerasan, seperti kekerasan seksual terhadap siswi TK di Kota Metro diduga melibatkan penjaga sekolah, dan sepertinya tidak ada lagi tempat yang aman bagi anak untuk tumbuh kembang, mengingat di tempat tinggalnya sendiri, anak bisa menjadi korban orang tua maupun keluarga dekatnya," katanya pula.
LAdA-Damar meminta pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat dapat menjadi jejaring yang efektif untuk mencegah kejahatan seksual terhadap anak sejak dini, sekaligus memberikan pemahaman terhadap kelompok masyarakat sipil tentang UU Perlindungan Anak dan Hak-Hak Anak. Selain itu, mereka juga mengusulkan materi tentang hak anak dan pendidikan seks sejak dini masuk dalam kurikulum pendidikan nasional, dan pemahaman perspektif hak anak sebaiknya dijadikan syarat mutlak bagi penyidik kasus kejahatan seksual terhadap anak pada jajaran kepolisian.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka anak sangat rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan rumah dan sekolah, dimana lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat, dan pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak.

1.2.         Identifikasi dan Rumusan Masalah
a.          Identifikasi permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang teridentifikasi  kekerasan terhadap anak adalah sebagai berikut:
1)      Anak dilahirkan apakah diinginkan atau tidak semuanya tidak disadari olehnya
2)      Harapan orang tua, lingkungan dan masyarakat terhadap anak selalu negative
3)      Kekerasan terhadap anak bukan karena anak nakal tetapi pemahaman perkembangan anak yang belum dipahami lingkungan anak tersebut
4)      Konsep nakal dengan rasa ingin tahu, dan anak aktif sangat berbeda
b.      Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah “Bagaimana hasil Analisis Kekerasan Terhadap Anak Di Provinsi Lampung”

1.3.       Tujuan dan Manfaat
Tujuan melakukan analisis ini adalah untuk mengetahui hasil analisis kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung; dan manfaat penulisan analisis ini adalah:  menemukan kebijakan dan pendekatan yang tepat untuk melakukan advokasi dalam rangka memperkecil/mengurangi/menghilangkan terjadinya kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung.

1.4.      Metode Penulisan
Metode yang digunakan untuk penulisan analisis kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung adalah metode deskriptif yaitu memberikan deskripsi tentang kekerasan terhadap anak dengan menggunakan data sekunder serta data pendukung lainnya.

1.5.      Landasan Teori
Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia, dan Hak Anak menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Undang-undang menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Peraturan Daerah Provinsi Lampung (Perda)    Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pelayanan Terpadu Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Tindak Kekerasan menekankan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak berdimensi fisik, psikologis, seksual dan ekonomi dengan mengatasnamakan budaya, tradisi, adat, agama dan sebagainya merupakan pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi terhadap perempuan dan anak dan kejahatan terhadap martabat manusia sehingga menghambat terciptanya keadilan dan kesetaraan jender serta kehidupan demokrasi; dan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak telah berlangsung lama dan jumlahnya terus meningkat serta meluas tetapi jarang muncul di permukaan untuk menjadi persoalan sosial (pandemie);
a.       Kekerasan
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjelaskan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan pengabaian terhadap hak asasi perempuan dan anak atas dasar gender serta trafiking yang dilakukan oleh pelaku kekerasan, yang mengakibatkan rasa sakit, luka fisik, cidera, pingsan, cacat, cacat permanen‑gugurnya kandungan, gangguan psikis/jiwa, serta kerugiaan secara ekonomi, atau sampai menyebabkan kematian.
Kekerasan yang terjadi pada kasus-kasus kekerasan terhadap anak dilihat dari beberapa ranah seperti kekerasan di ranah publik, privat dan serta kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan di rana publik adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di masyarakat, berdimensi pelecehan, kekerasan di tempat kerja, kekerasan di wilayah konflik, perkosaan, pornografi, perdagangan perempuan dan anak (trafiking), dan media masa; Tindak kekerasan di ranah publik ini dilakukan oleh orang lain di masyarakat atau di luar rumah tangga.
Kekerasan di Ranah Privat adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi dalam rumah tangga oleh pasangan atau mantan pasangan dalam maupun di luar perkawinan yang mempunyai hubungan keluarga darah, perkawinan, adat, adopsi, yang bekerja pada orang lain atau  yang tinggal dan menetap pada orang lain;
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan dan anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, ekonomi, perdagangan, pembatasan ruang gerak, dan ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, luka fisik/pingsan, cacat permanen, gugurnya kandungan dan atau sampai menyebabkan kematian.
Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, penderitaan dan atau gangguan psikis.
Kekerasan Seksual adalah perbuatan yang ditunjukan terhadap tubuh atau seksualitas seseorang untuk tujuan merendahkan martabat serta integritas tubuh atau seksualitasnya yang berdampak secara fisik maupun psikis termasuk dalam hal ini adalah pelecehan seksual.
Kekerasan Ekonomi adalah perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, tidak memberi nafkah, meniadakan akses, kontrol dan partisipasi berkenaan dengan sumber‑sumber ekonomi.
Pembatasan Ruang Gerak adalah tindakan membatasi atau melarang kepada seseorang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga seseorang itu berada di bawah kendali orang tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak meliputi:
a.       Kekerasan fisik
b.      Kekerasan psikis
c.       Kekerasan seksual
d.      Kekerasan ekonomi
e.       Trafiking
f.       Pembatasan ruang gerak.
b.      Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 mendefinisikan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Konsep anak dilihat dari penampilan diri; Menurut Hurlock (1980:5) faktor yang mempengaruhi sikap terhadap perubahan-perubahan dalam perkembangan adalah: 1) penampilan diri, dimana perubahan-perubahan diri seeorang akan diterima dengan senang hati dan mengarah kepada sikap yang menyenangkan, sedangkan perubahan-perubahan yang mengurangi penampilan diri akan ditolak, dan segala cara akan diusahakan untuk menutupinya; 2) Perubahan peran, adalah sikap terhadap orang dari bermacam-macam usia sangat dipengaruhi oleh peran yang mereka mainkan. Kalau orang mengubah peran mereka, mereka kurang senang maka sikap terhadap mereka kurang simpatik.
Gambaran masa perkembangan anak menurut Hurlock (1980:185) dimana masa kanak-kanak perempuan usia 0 tahun (lahir) s.d usia 11 tahun dan masa puber 11 s.d 15 tahun; dan masa remaja 15 s.d 18 tahun; sedangkan masa kanak-kanak laki-laki usia 0 tahun (lahir) s.d usia 12 tahun dan masa puber 12 s.d 16 tahun; dan masa remaja 16 s.d 18 tahun, untuk jelasnya seperti tabel berikut:

Perempuan
Umur
Laki-Laki
Kanak-Kanak
0 – 11
0 – 12
Kanak-Kanak
Masa Puber
11 – 15
11 – 16
Masa Puber
Remaja
15 – 18
16 – 18
Remaja
Anak-Anak
2 – 13
2 – 14
Anak-Anak
         Sumber: Hurlock (1980:185)

1)      Awal dan Akhir Masa Kanak-kanak
Umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupannya saat dimana individu relative tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Bagi kebayakan anak (young children) atau selanjutnya dikatakan “anak-anak”  sering kali dianggap tidak ada akhirnya sewaktu mereka tidak sabar menunggu saat pengakuan yang didambakan anak dari masyarakat.
Hulock (1980:108) menyatakan bahwa masa anak-anak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan yakni ± dua tahun sampai saat anak matang secara seksual 13 (tiga belas) tahun untuk wanita dan 14 (empat belas) tahun untuk pria dimana anak yang sudah matang secara seksual maka anak ini disebut remaja.
Selama periode yang panjang ini baik pria maupun wanita terjadilah sejumlah perubahan yang mencolok baik secara pisik maupun psikologis karena tekanan budaya dan harapan untuk menguasai hal-hal tertentu pada usia tertentu itu berbeda, maka anak pada awal masa kanak-kanak agak berbeda dengan anak pada masa akhir periode ini.
Masa anak-anak dibagi menjadi dua periode yang berbeda yaitu periode awal berlangsung dari umur dua s.d enam tahun, dan periode akhir mulai enam tahun sampai dengan tiba saatnya anak matang secara seksualnya. Ciri-ciri masa anak-anak menurut Hurlock (1980:108) tercermin dalam sebutan yang biasanya diberikan oleh para orang tua, pendidik dan para akhli pesikologi. Sebutan yang digunakan orang tua menganggap bahwa masa anak-anak sebagai usia yang mengandung masalah atau usia sulit yang berkisar pada masalah perawatan psisik, masalah perilaku yang lebih menyulitkan dari pada masalah perawatan pisik anak.
Masalah perilaku sering terjadi pada masa anak-anak karena alasan  anak mudah sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut  kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. Lagi pula anak yang lebih muda sering kali “bandel, keras kepala, tidak menurut, negativities, dan melawan, dan sering marah tanpa alasan, dan pada malam hari sering terganggu dengan mimpi buruk dan pada siang hari sering merasa ketakutan yang tidak rasional dan merasa cemburu”.
Sebutan yang sering digunakan oleh para pendidik, menyebutkan bahwa tahun-tahun awal anak-anak sebagai usia prasekolah dan anak-anak yang cukup tua baik secara pisik dan mental untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mulai mengikuti pendidikan formal.
Sebutan yang digunakan oleh para akhli psikologi menggunakn sejumlah sebutan yang berbeda dengan ciri-ciri yang menonjol  dari perkembangan psikologis anak yang digolongkan dengan usia kelompok  dilihat dari anak-anak mulai mempelajari dasar-dasar prilaku sosial    sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada saat disekolah.
Emosi selama masa anak-anak, emosiaonal sangat kuat dan merupakan saat ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar dari fokus” dalam arti bahwa anak-anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehimgga sulit dibimbing dan diarahkan. Hal ini tampak mencolok pada usia 2,5 s.d 6,5 tahun, meskipun pada umumnya berlaku pada hampir seluruh periode masa anak-anak.
Pola-pola emosi yang umum menurut Hurlock (1980:116) lebih mudah mengalami hampir semua jenis emosi yang secara normal dialami oleh orang dewasa, namun rangsangan yang membangkitkan emosi dan cara anak mengungkapkannya emosi yang sangat berbeda. Emosi yang umum adalah Amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hari, gembira, sedih, dan kasih sayang.

2)      Masa Puber
Pubertas adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak berubah dari mahluk aseksual menjadi mahluk seksual. Masa Puber adalah suatu tahap dalam perkembangan dimana menjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan reproduksi, dan tahap ini disertai dengan  perubahan-perubahan dalam pertumbuhan somatic dan perspektif psikologis.
Pubertas berasal dari kata latain yang berarti usia kedewasaan yang lebih merujuk pada perubahan fisik dari pada perubahan prilaku yang terjadi pada saat individu secara seksual menjadi matang dan mampu memberikan keturunan.
Hurlock (1980:187) Usia pada masa puber dalam kebudayaan Amerika, saat ini kira-kira 50% anak perempuan menjadi matang antara 12,5 dan 14,5 tahun dengan kematangan rata-rata 13 tahun; rata-rata anak laki-laki menjadi matang secara seksual antara usia 14 s.d 16,5 tahun dengan 50% anak laki-laki yang matang antara 14 s.d 15,5 tahun

3)      Masa remaja
Istilah remaja atau adolescence menurut Hurlock (1980:206) berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa, dan saat ini kata remaja atau adolescence yang digunakan saat itu mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik. Menurut Piaget dalam Hurlock (1980:207) masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat dari orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah “Hak” termasuk intelektual, cara berfikir, transformasi intelektual, integrasi dan hubungan sosial yang merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan saat ini.

c.       Kekerasan Terhadap Anak
Menurut WHO dalam Deby_Prisci, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang (masyarakat) yang mengakibtkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan merupakan perilaku yang tidak sah atau perlakuan yang salah,kekerasan dapat diartikan sebagai perbuatan yang menyebabkan cidera matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Kekerasan yang menyebabkan terjadinya  kerusakan adalah kekerasan yang bertentangan  dengan hukum, oleh karena itu kekerasan dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan.
Terdapat 4 (empat) sifat kekerasan yang dapat didefinisikan yaitu: 1) kekerasan terbuka (overt) kekerasan yang dapat dilihat seperti perkelahian; 2) kekerasan tertutup (covert) yaitu kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti perilaku mengancam; 3) kekerasan agresif yaitu kekerasan yang tidak untuk perlindungan tetapi untuk mendapatkan sesuatu; dan 4) kekerasan defensive kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Kekerasan umumnya ditujukan kepada kelompok yang lemah, anak merupakan satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Manusia disebut sebagai anak dengan pengukuran atau batasan usia; setip Negara diberikan peluang untuk menentukan berapa usia manusia yang dikategorikan sebagai anak. Dinegara Negara ASEAN khususnya Indonesia, berdasarkan undang-undang perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk tindakan perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosianal, penyalahgunaan seksual, trafiking penelantaran, eksploitasi komersial termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Kekerasan terhadap anak termasuk dalam perbutan disengaja yng dapat menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional.  Menurut Bakar dalam Deby_Prisci (20014:9), kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik maupun emosi terhadap anak yang ketergantungn melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak [26-9-2017; 10:00] Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Ada empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak: pengabaian, kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.


Endaryono (2008:1) Dampak Kekerasan terhadap Anak. Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Berdasarkan uraian di atas dampak kekerasan terhadap anak antara lain:
a.       Kerusakan fisik atau luka fisik
b.      Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
c.       Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan,  penyalahgunaan obat dan alkohol sampai dengan kecenderungan bunuh diri.
d.      Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan lain-lain
e.       Pendidikan anak yang terabaikan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka menurut penulis,  kekerasan terhadap anak adalah perilaku yang dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk merusak, melukai, dan merugikan anak dan berdampak negatif  untuk masa depan anak tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak:
a.       Kekerasan fisik, kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang lain
b.      Kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya yang meliputi eksploitasi seksual dlam prostitusi atau pornografi, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan orang-orang yang mempunyai hubungn darh(incest), dan sodomi
c.       Kekerasan emosional, suatu perbuatan terhadap anak yng mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan ganggun kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan social. Contohnya seperti pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek dan menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atu penolakan.
d.      Penelantaran anak, ketidak pedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka. Kelalaian dibidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperolleh kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi dan perawatan medis. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada jenjang pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau kekgagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian dibidang fisik meliputi pengusiran dari rumah dan pengawasan yang tidak memadai. Kelalaian dibidang emosionl meliputi kurangnya perhatian, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alcohol dan narkoba oleh anak.
e.       Eksploitasi anak, penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan  orang lain, termasuk pekerja anak dn prostitusi, dimana kegiatan ini merusak dn merugikan kesehatan fisik dan mental, perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan social-emosional anak. Undang-Undang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Menurut Suharto dalam  Deby_Priscika, mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:
a.       Kekerasan fisik, kekerasan anak secara fisik adalah kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh nak seperti penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian terhadap anak. Bentuk luka bisa berupa lecet, atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul.
b.      Kekerasan psikis yaitu kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, penghinaan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, meladeni atau juga mengkambinghitamkan. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala prilaku mal-adaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
c.       Kekerasan seksual, kekerasan secara seksual adalah kekerasan yang berupa pemaksaan hubungan seksual antara ank dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
d.      Kekerasan social, kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.  Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan. Eksploitasi anak menunjuk pada perlakuan sewenang-wenang  terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan dan keuntungan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak hak anak, misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik yang membahayakan  dirinya dengan upah yang rendah dan tanpa peralatan yang memadai, atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).

Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak. Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera disfungsional, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar. Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stres pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian). dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya. Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
Pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi  kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
Kematian, Sebuah kematian akibat kekerasan terhadap anak adalah ketika kematian anak sebagai hasil dari kekerasan atau kelalaian, atau bila kekerasan dan/atau pengabaian menjadi faktor yang berkontribusi untuk kematian anak.



BAB II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1.      Analisis
Kekerasan terhadap anak di Indonesia menurut Komnas Perlindungan Anak (KPA) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (data diolah) seperti dalam grafik sbb:
1)      Jumlah kasus kekerasan terhadap anak tahun 2007 s.d 2014
Berdasarkan Data sekunder dari Polda Provinsi Lampung, peningkatan jumlah kekerasan dari tahun ke tahun relati tinggi mulai dari periode 2007 sebanyak 1.510 kasus s.d periode 2013 menjadi 3.339 kasus, artinya ada penurunan menjadi 2.750 kasus (tahun 2014).
2)      Jika diperhatikan angka relatifnya menunjukkan bahwa periode 2007-2008 sebesar 316 kasus, tahun 2008-2009 sebesar 160 kasus, tahun 2009-2010  sebesar 57 kasus, tahun 2010-2011 sebesar 416 kasus, tahun 2011-2012 sebesar 175 kasus, tahun 2012-2013 sebesar 702 kasus dan tahun 2013-2014 menurun 589 kasus.
3)      Secara keseluruhan mulai tahun 2007 s.d 2014 menunjukkan kenaikan jumlah kekerasan  terhadap anaksecara linier.

Grafik 1: Kekerasan terhadap anak di Indonesia (KPA)


Melihat grafik tersebut di atas menunjukkan bahwa  secara absolut semakin banyak jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dimana pada tahun 2007 sebanyak 1.510 kasus dan terus meningkat menjadi 3.339 kasus pada tahun 2013, maskipun pada tahun 2014 terlihat ada penurunan menjadi 2.750 kasus, dan secara linier rata-rata kasus kekerasan terhadap anak meningkat setiap tahun. Hasil dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sumber kekerasan terhadap anak  akibat dari faktor 1) lingkungan sosial 56%; 2) lingkungan sekolah 17%; 3) lingkungan keluarga 24%, 4) sebesar 3% di luar faktor tersebut.

Imam Syafei (2016:25) memaparkan data hasil penelitian tentang jumlah kekerasan terhadap anak yang diakses menurut KPAI dari media pada Januari 2016 yang lalu, menunjukkan jumlah kekerasan anak di Indonesia dan Provinsi Lampung selama periode 2011 s.d 2014 (data diolah) sebagai berikut:

 Grafik 2: Kekerasan terhadap anak di Indonesia (KPA)


Sumber: KPAI dalam M. Imam Syafei, 2016.
Diakses pada 22 Januari 2016. (Data Diolah)

Memperhatikan grafik 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa di Indonesia secara absolut pada tahun  2011 s.d 2014 secara linier jumlah kasus kekerasan terhadap anak selalu meningkat dari 2.178 kasus pada tahun 2011 menjadi 5.066 kasus pada tahun 2014, artinya secara umum kekerasan terhadap anak di Indonesia semakin meningkat.

Grafik 3: Kekerasan terhadap anak di Provinsi Lampung

Sumber: KPAI dalam M. Imam Syafei, 2016. Diakses pada 22 Januari 2016.
Berdasarkan grafik 3 tersebut di atas, juga menunjukkan pola yang hampir sama dengan pola kekerasan terhadap anak di Indonesia,  dimana di Provinsi Lampung pada tahun 2011 kasus kekerasan terhadap anak mencapai 213 kasus dan meningkat menjadi 225 kasus, tahun 2013 meningkat menjadi 308 kasus, dan pada tahun 2014 menurun menjadi 252 kasus.

Data dalam tabel 2.1 di bawah ini secara rinci menunjukkan  besarnya presentase  kasus kekerasan terhadap anak berdasarkan jenis kasus kekerasan mulai tahun 2012 s.d tahun 2015, yaitu kasus perkosaan (Pk), Pencurian (Pcc), Penganiayaan (Pe, Penelantaran anak (Pa), melarikan anak di bawah umur (Padu), Pengeroyokan (Py), Penipuan (Pi), Perjudian (Pj), dan perbuatan tidak menyenangkan (Ptm).


Tabel 2.1: Data Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2012-2015
Di Provinsi Lampung
No.
Jenis Kasus
Tahun
2012
2013
2014
2015
1.
Perkosaan (Pk)
71 (51,45)
90
(53,89)
130 (63,41)
112 (49,56)
2.
Pencurian, curat, curas (Pcc)
17 (12,32)
19
(11,38)
29
(14,15)
15
(6,64)
3.
Penganiayaan (Pe)
11 (7,97)
8 (4,79)
17 (8,29)
41 (18,14)
4.
Penelantaran Anak (Pa)
4 (2,90)
7 (4,19)
2 (0,97)
4 (1,77)
5.
Melarikan anak dibawah umur (Padu)
23 (16,67)
36 (21,56)
18 (8,78)
31 (13,72)
6.
Pengeroyokan (Py)
5 (3,62)
3 (1,80)
4 (1,95)
8 (3,54)
7.
Penipuan (Pi)
5 (3,62)
3 (1,80)
4 (1,95)
1 (0,44)
8.
Perjudian (Pj)
-
-
-
1 (0,44)
9.
Perbuatan Tidak Menyenangkan (Ptm)
2 (1,45)
1 (0,60)
1 (0,05)
2 (0,88)
Jumlah…..
138
167
205
226
Sumber Data: Polda Lampung (Januari 2016) Data Diolah
Data dalam tabel 2.1 di atas digambarkan dalam Grafik 4 di bawah ini bahwa dari 9 kasus pada tahun 2012 menunjukkan kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (51,45%); kemudian Melarikan anak di bawah umur/Padu (16,67%); pencurian rurat dan curas/Pcc (12,32%); penganiayaan/Pe (7,98%); pengeroyokan/Py dan penipuan/Pi masing-masing (3,62%) penelantaran anak/Pa (2,90%); perbuatan tidak menyenangkan/Ptm  (1,45%), dan tahun 2012  tidak terdapat kasus kekerasan perjudian/Pj.


Grafik 4: Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2012)



Data dalam Grafik 5 kasus kekerasan tahun 2013 di bawah ini menunjukkan bahwa dari 9 kasus menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (53,89%); kemudian Melarikan anak di bawah umur/padu (21,56%); pencurian rurat dan curas/Pcc (11,38%); penganiayaan/Pe (4,79%); penelantaran anak/Pa (4,19%) pengeroyokan/Py dan penipuan/Pi masing-masing (1,8%); dan perbuatan tidak menyenangkan/Ptm  (0,06%) dan tahun 2013 tidah terdapat kasus kekerasan perjudian/Pj.


Grafik 5: Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2013)

Data dalam Grafik 6 di bawah ini menunjukkan  kasus kekerasan tahun 2014  menunjukkan bahwa dari 9 kasus menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (63,41%); pencurian rurat dan curas/Pcc (14,15%); kemudian Melarikan anak di bawah umur/padu (8,78%); penganiayaan/Pe (8,29%); pengeroyokan/Py dan penipuan/Pi masing-masing (1,95%), penelantaran anak/Pa (0,97%); dan perbuatan tidak menyenangkan/Ptm  (0,05%) dan tahun 2013 tidah terdapat kasus kekerasan perjudian/Pj.


Grafik 6: Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2013)



Data dalam Grafik 7 di bawah ini menunjukkan kasus kekerasan tahun 2015 bahwa dari 9 kasus menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada kasus perkosaan/Pk (49%); penganiayaan/Pe (18,14%); Melarikan anak di bawah umur/padu (13,72%); pencurian rurat dan curas/Pcc (6,64%); pengeroyokan/Py (3,54%);  penelantaran anak/Pa (1,77%); perbuatan tidak menyenangkan/Ptm  (0,05%); penipuan/Pi dan Perjudian/Pj masing-masing (0,44%).


 Grafik 7: Kekerasan Terhadap Anak Tahun 2015)


Perkembangan kekerasan terhadap anak Berdasarkan Jenis Kasus (Tahun 2012-2015)
Kekerasan terhadap anak kasus perkosaan secara absolut menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 2012 sebanyak 71 kasus, tahun 2013 sebanyak 90 kasus, tahun 2014 sebanyak 130 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 112 kasus. Kalau kita perhatikan pada tahun 2014-2015 terjadi penurunan, namun cukup kecil penurunan tersebut.

Grafik 8: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Perkosaan 2012-2015



Grafik 9 di bawah ini kekersan terhadap anak jenis kasus pencurian juga menunjukkan jumlah yang meningkat dari tahun 2012 s.d tahun 2014 dan pada tahun 2015 menunjukkan penurunan sampai angkanya lebih kecil dari kasus pencurian tahun 2012 dan tahun 2013. Meskpun terdapat kecenderungan penurunan tersebut, tetapi selalu waspada agar penurunan tersebut berlanjut pada tahun-tahun berikutnya semakin kecil angka kasus pencurian tersebut.

 Grafik 9: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Pencurian 2012-2015

Grafik 10 di bawah ini terlihat bahwa kasus penelantaran anak meskipun jumlahnya kecil, namun hal ini menjadi perhatian  karena ternyata setelah periode 2012 -203 menunjukkan peningkatan sebanyak 3 kasus, tahun 2014 menurun sebanyak 5 kasus, dan pada tahun 2015 kembali meningkat menjadi 4 kasus. 


Grafik 10: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Penelantaran Anak 2012-2015


Grafik 11 di bawah ini juga menunjukkan bahwa kasus melarikan anak di bawah umur  pada tahun 2012 sebanyak 23 kasus, kemudian meningkat menjadi 36 kasus tahun 2013, menurun menjadi 18 kasus pada tahun 2014, dan terus meningkat lagi menjadi 31 kasus pada tahun 2015. Data dalam Grafik 11 ini secara umum kasus melarikan anak di bawah umur masih menunjukkan peningkatan..
Grafik 11: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Melarikan Anak Dibawa Umur
 2012-2015


Grafik 12 di bawah ini juga menunjukkan bahwa kasus pengeroyokan  pada tahun 2012 sebanyak 5 kasus, kemudian menurun menjadi 3 kasus tahun 2013, meningkat kembali menjadi 4 kasus pada tahun 2014, dan terus meningkat lagi menjadi 8 kasus pada tahun 2015. Data dalam Grafik 11 ini secara umum kasus pengeroyokan masih menunjukkan peningkatan.

 Grafik 12: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Pengeroyokan 2012-2015


Grafik 13 di bawah ini terlihat bahwa kekerasan terhadap anak kasus penipuan pada tahun 2012 sebanyak 5 kasus, tahun 2013 menurun menjadi 3 kasus, tahun 2014 meningkat menjadi 4 kasus, dan pada tahun 2015 juga kembali menurun menjadi 1 kasus.

 Grafik 13: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Penipuan 2012-2015


Grafik 14 di bawah ini juga menunjukkan bahwa selama tahun 2012 s.d 2013 tidak terdapat kasus perjudian, namun pada tahun 2015 terdpat 1 kasus perjudian.

Grafik 14: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Perjudian 2012-2015

 Grafik 15 di bawah ini tentang perbuatan tidak menyenangkan juga menunjukkan bahwa pada tahun 2012 sebanyak 2 kasus, tahun 2013 turun menjadi 1 kasus, tahun 2014 juga tetap 1 kasus, dan pada tahun 2015 kembali meningkat menjadi 2 kasus.
 
Grafik 15: Kekerasan Terhadap Anak
Kasus Perbuatan Tidak Menyenangkan 2012-2015



Kekerasan Terhadap Anak Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2014

Kekerasan terhadap anak berdasarkan kabupaten/kota/provinsi periode Januari s.d Desember tahun 2014, garfik 16 di bawah ini menunjukkan bahwa presentase tertinggi berada di wilayah kota Bandar Lampung sebesar 32,14 persen, dan sekitar 10 persen di Kabupaten Tanggamus dan Kota Metro, dan persentase yang sama  sebesar 7,14 persen adalah Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Way Kanan. Persentase 5,95 s.d 6,35% adalah Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten  Lampung Utara, dan Kabupaten Lampung Barat, sedangkan persentase di bawah 4 persen adalah Polda Lampung dan Kabupaten Tulang Bawang, dan terdapat 4 Kabupaten dengan di bawah 1 s.d 0 persen adalah  Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Pasawaran, Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Mesuji.

Grafik 16: Kekerasan Terhadap Anak
Berdasarkan Kab/Kota/Prov Periode Januari-Desember Tahun 2014

Sumber: Data polda Lampung 2015 (Data Diolah)
2.2.      Pembahasan
Undang-Unadang No. 35 Tahun 2014 menegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak, dimana perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud diberikan kepada:
1.         Anak dalam situasi darurat;
2.         Anak yang berhadapan dengan hukum;
3.         Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
4.         Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
5.         Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
6.         Anak yang menjadi korban pornografi;
7.         Anak dengan HIV/AIDS;
8.         Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
9.         Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
10.     Anak korban kejahatan seksual;
11.     Anak korban jaringan terorisme;
12.     Anak Penyandang Disabilitas;
13.        Anak korban perlakuan salah dan penelantaran
14.        Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
15.        Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tersebut, pemberian perlindungan seperti kepada 15 khusus anak tersebut di atas, tentunya khusus kekerasan terhadap anak dengan kasus yang berbeda-beda dibatasi pada 9 (Sembilan) kasus dan perlu dilakukan pembahasan dari hasil analisis tersebut di atas yaitu:
1.      Perkosaan
2.      Pencurian, curat, curas
3.      Penganiayaan
4.      Penelantaran anak
5.      Melarikan anak di bawah umur
6.      Pengeroyokan
7.      Penipuan
8.      Perjudian dan
9.      Perbuatan yang tidak menyenangkan

Kekerasan terhadap anak apapun bentuknya kasusnya tidak bisa dibiarkan karena sangat merugikan hidup anak tersebut sampai dewasa bahkan selama hidupnya di dunia ini dan hal ini menjadi ancaman bagi negara kita Indonesia ketika kekerasan terhadap anak dibiarkan berlanjut, karena anak-anak yang mengalami kekerasan tersebut adalah sebagian dari  generasi penerus pembangunan bangsa kita Indonesia.

Terdapat kekerasan terhadap anak dengan beberapa kasus yang sangat memprihatinkan adalah perkosaan, melarikan anak di bawah umur dan pencurian. Ketiga kasus tersebut semakin tahun semakin tinggi presentasenya dan perlu mendapatkan perhatian khusus dan serius oleh pemerintah untuk menghentikan terjadinya kekerasan terhadap anak dimasa yang akan datang.
  
Kekerasan terhadap anak kasus perkosaan terus meningkat, hal ini sangat memprihatinkan karena terutama bagi anak perempuan yang meliputi eksploitasi seksual dalam hal prostitusi, pornografi, pemaksaan anak untuk memegang kemaluan, hubungan seksual, perkosaan, dan sodomi.
Peningkatan persentase kekerasan terhadap anak kasus perkosaan ini juga terjadi karena berbagai faktor kemajuan teknologi digital seperti handphone yang canggih, pergaulan, kepercayaan orang tua kepada pengasuh yang tanpa control, kurangnya pengawasan guru disekolah, belum memahaminya anak terhadap perkembangan di usia tergolong anak, penampilan, balas dendam orang dekat maupun orang yang tidak dikenal terhadap orang tua anak dimana sasarannya adalah anak-anaknya.
Fenomena ini menggambarkan bahwa kekerasan terhadap anak kasus perkosaan yang semakin meningkat lebih banyak terjadi oleh pelaku yang dekat dengan korban berada. Kita pahami bahwa yang tegolong anak pada umumnya masih belum memahami tentang apa arti perkosaan dan dampak dari perkosaan tersebut dan anak anak lebih cepat percaya dengan bujuk-rayuan yang membawa mereka kepada kasus perkosaan. Bujuk-rayu mulai dari makanan, pandangan ketampanan, uang, baju baru, mainan, suka kepada lawan jenis meskipun belum waktunya, seringnya melihat film2 porno via teknologi Handphone, rasa ingin tahu untuk berhubungan seks, sampai kepada hilangnya pengendalian diri karena ketrtarikan terhadap lawan jenis. Sekarang ini khusus handphone/smartphone untuk anak-anak tidak bisa lagi dilarang dan bahkan sengaja dibeliin orang tua dengan maksud untuk perlancar komunikasi, namun anak-anak sekarang udah lebih canggih menggunakan handphone/smartphone disbanding orang tuanya. Umumnya anak yang mengalami kekerasan kasus perkosaan selalu merasa takut, tidak percaya pada orang lain, rendah diri, merasa tidak berharga lagi, rasa malu pada semua orang, dan bahkan mengalami gangguan jiwa.   

Kekersan terhadap anak kasus penganiayaan juga menungnjukkan persentase yang cukup tinggi dan meningkat setiap tahunnya, dan kasus ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan menurut penulis faktor tersebut adalah karena faktor internal dalam keluarga atau faktor eksternal. Faktor internal dalam keluarga seperti perselisihan orang tua anak tersebut dimana yang menjadi korban adalah anak tersebut, pemahaman yang salah terhadap anak dengan memberi istilah “nakal”, pengendalian emosional orang tua/keluarga yang mengarah kepada kekerasan kasus penganiayaan.
Faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya kekerasan kasus penganiayaan adalah, lingkungan bermain, lingkungan sekolah, kelompok pergaulan tertentu dari anak tersebut, dan masyarakat secara umum. Penganiayaan terjadi karena kesalahpahaman atau adanya perbedaan antara korban dengan yang melakukan kekerasan kasus penganiayaan.
Akibat dari kekerasan terhadap anak kasus penganiayaan akan mengakibatkan pengaruh terhadap pisik dan psikis yang berkepanjangan dari anak yang menjadi korban tersebut. Dmpak terhadap faktor internal dan eksernal adalah anak mengalami ketakutan, minder/rendah diri, cacat fisik dan sebagainya.       

Kekerasan anak kasus melarikan anak di bawa umur yang semakin tahun semakin meningkat ini merupakan suatu kasus yang mengarah kepada balas dendam, keretakan keluarga, pemanfaatan untuk mendapatkan tambahan ekomomi, dijadikan pelampiasan nafsu seks, karena budaya seperti ingin menikah tetapi tidak disetujui oleh salah satu atau kedua orang tua salah satu atau kedua belah pihak orang tua, penjualan anak, dsb.

2.3.      Kasus Kekerasan Orang Tua (Suami/Ayah) terhadap anaknya

Pembahasan kekerasan terhadap anak ini memang memerlukan suatu kajian dan di dukung dengan data dan fakta yang benar-benar memberikan kepercayaan kepada pembaca tentang keberadaan kasus kekerasan tersebut. Salah satu kasus yang terjadi dan masih hangat adalah satu kasus di daerah lain yang menurut penulis ada kesamaan dengan kasus di daerah Provinsi Lampung.

Sebelum kita membahas kasus ini, seorang ibu muda ini memohon kepada penulis agar merahasiakan identitas baik orang tua (suami) yang melakukan kekerasan dan identitas anak yang menerima perlakuan kasus kekerasan tersebut, dan kasus ini terjadi di wilayah kota makasar.
Kasus yang terjadi terhadap seorang anak yang penulis dapatkan via curhat seorang ibu muda pada tanggal 7 Juni 2017 jam 17:25 yang diawali dengan kalimat bahwa “saya ingin curhat, saya benar-benar sedih karena suamiku mukul anakku dan ini sudah yang ke 3 (tiga) kalinya  dan pipi anakku di tampar yang ketiga kali pula, bahkan menampar pipi anakku yang ke 2 (dua) kali dilakukan suamiku di depan ibu, bapak (Mertua suamiku) dan adikku, sehingga ibu dan adikku sampe menangis melihat kejadian penamparan terhadap anak saya.
Ibu muda ini menuliskan curhatnya bahwa anaknya memang sangat aktif dan tidak mau diam dan tidak terlalu suka kalau didekap/dipeluk oleh suaminya. Suaminya jarang ada waktu buat anaknya karena kerja dari senin sampai dengan jum’at  dan giliran hari sabtu dan minggu (libur/tidak kerja) main sama anaknya hanya 30 menit saja, setelah itu keluar kewarung kopi bersama teman-temannya sehingga anaknya ini lebih banyak menghabiskan waktunya bersama bundanya.

Kejadian yang pertama; awal pertama terjadi pemukulan suami terhadap anaknya sudah malam (setahun yang lalu) sekitar bulan februari 2016 (tanggalnya lupa), seperti biasa anakku main-main di kamar bersama suaminya, selanjutnya ditengah keseriusan main, kemudian suaminya mengeluh capek main, tapi anaknya masih semangat karena jarang ketemu bermain bersama, Anak yang masih mau bermain dan suaminya udah nggak mau main tapi anaknya masih terus ganggu suaminya tuk supaya main lagi, sehingga karena semangat anaknya yang begitu besar dengan reflex anak tersebut mukul suaminya yang sudah nggak mau main lagi. Disaat itu suaminya marah terus dipululinya dada anaknya  dan anaknya kesakitan sampai menangis tersedu-sedu. Bundanya hanya bisa terdiam sambil memeluk anaknya dan diam-diam bundanya juga menangis. Hari berikutnya (besoknya) anaknya ini merasa ketakutan sama suaminya dan dibuat kesepakatan suaminya minta maaf kepada anaknya dan sebaliknya.

Kejadian yang ke 2 (kedua) September 2016 suaminya dipindah tempat kerjanya di daerah, anak dan bundanya ikut pindah juga dan bundanya dalam keadaan hamil anak yang ke dua, dan terus berjalanya waktu seperti biasa-biasa saja. Tahun 2017 bulan maret bunda dan anaknya kembali ke rumah tempat tinggal karena sudah dekat dengan waktu persalinan kehamilan anak kedua ini. Bunda sama anaknya tinggal di rumah ibu orang tuanya bunda, Kejadian kedua itu pada bulan 5 (Mei) 2017 sekitar tanggal 19, Karena suaminya di daerah dan bundanya di rumah (makasar)  suaminya setiap minggu pulang balik ke makasar. Nah pas datang saat pulang hari jum’at malam suaminya sampe rumah ganti baju  dan makan kemudian cerita-cerita  depan TV sambil nonton TV dan semua lagi kumpul “ibu, bapak, adik dan bunda dan anaknya” kemudian suaminya memanggil anaknya, dipangkunya dan cerita-cerita berdua suaminya. Kemudian beberapa saat anaknya minta dilepas dari pangkuan suaminya dan suaminya nggak mau lepas kemudian dengan kesal anaknya mukul pipi suaminya supaya dilepaskan dari pangkuan. Kejadian tersebut kemudian anaknya dilepas dan dibalas suaminya memukul anaknya dengan keras di pipi anaknya dan suaminya masuk kamar, selanjutnya bundanya memeluk anaknya yang lagi menagis terisak-isak. Kejadian ke 2 ini juga disaksikan oleh kedua orang tua dan adik bunda, dan semuanya menangis melihat kejadian seperti itu.
Tidak cukup sampai disitu, dikamar ternyata suaminya tidak menyesal dengan kejadian itu dilanjutin lagi dikamar anaknya dimana anaknya dimarahi sambil “diancam” kalau masih mukul ayah lagi maka anaknya akan dipukul lagi “sambil mengangkat tangan untuk memukul” dan bundanya mecegah/ menghentikan suaminya untuk keterusan memukulnya lagi, disaat seperti ini juga terjadi suaminya minta maaf terhadap anaknya

Kejadian ke tiga (tiga); hari hari berlalu seperti biasa, sampai kejadian kemarin tanggal 7 Mei 2017 saat sahur… anaknya ikut bangun sahur dan bundanya dan disuapin oleh bundanya di kamar dan setelah selesai bundanya keluar kamar untuk kembalikan piring makan yang sudah selesai digunakan. Sambil keluar kamar, bundanya melihat suaminya ketempat tidur menarik dan  terus memeluk anaknya, tanpa perasaan curiga bundanya langsung keluar kamar, dan dalam waktu singkat anaknya bilang “lepas ayah… lepas ayah” tapi suaminya nggak mau ngelepasin dan anaknya berteriak sekuat-kuatnya untuk minta dilepasin, sehingga adeknya yang kedua masih kecil terbangun juga kemudian suaminya marah dan setelah dilihat bundanya anaknya nagis dan ditanya kenapa ternyata anaknya memegang pipi yang lagi-lagi dipukulin suaminya. Disaat itu bundanya sudah tidak tahan lagi karena sudah yang ketiga kali perlakuan suaminya terhadap anaknya  sehingganya bunda bilang suaminya bahwa kenapa harus selalu memukul pipi anaknya, kasian anak itu sudah ketakutan dan kesakitan.
Jawaban suaminya “ Ayah itu capek kerja cari uang” kemudian disambut bunda bilang “ya Allah kenapa persoalan kerjaan kog anak yang tidak tau apa2 dengan pekerjaan suaminya; Ayah kerja kan memang tanggung jawab menafkai anak-anak, dan jawaban suaminya “ayah berhenti aja kerja” dan dengan lembut bundanya mengatakan “ya sudah kalau mau berhenti .. berhenti saja” anak sekecil ini mana tau soal kerjaan… memang kerja itu capek  tapi setahu bunda .. orang tua itu nggak akan pernah ngeluh sama anaknya, malahan ada kalanya orang tua tidak mau memperlihatkan lelahnya mencari rezeki kepada anaknya… ini malahan sebaliknya.
Bunda masih rasa sakit hati anakku dipukul lagi dan bunda mengatakan “kenapa sih ayah terulang dan terulang lagi” Lihat itu anaknya takut sama suaminya apakah ayah mau anaknya jadi benci sama ayah? Kalau anak mukul 2 kali apakah ayah harus balasnya 2 kali?. Selama ini kita lihat Anak ini sangat aktif dan harus sabar menghadapinya akan sikap dan tingkahnya.. “jangan terbawa emosi .. anak mukul kita.. eeh kita malah kita yang katanya sudah dewasa malah balik mukul juga… janganlah ayah dan ini terakhir  dan bunda tidak mau terulang lagi.
Sekarang anaknya baru ber umur 4 tahun 8 bulan (saat kasus ini diceritakan) dengan logika ketika anak ini melakukan perlawanan ketika dia tidak suka diperlakukan seperti dipangku, dipeluk lama-lama merupakan suatu hal yang tidak dikategorikan “nakal” tapi ini merupakan hal biasa sesuai dengan perkembangan anak pada umur umur seperti itu. Spontanitas anak umur 4 tahun 8 bulan memukul orang tua tentu bukan sakit buat orang tua tetapi anak lebih meminta perhatian untuk menyetujui permintaannya seperti permintaan melepaskan diri dari rasa tidak aman dan tidak nyaman.

BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


3.1.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut di atas, maka beberpa kesimpulan yang dapat dituangkan disini adalah:
a.          Kekerasan terhadap anak yang telah dilakukan analisis mulai dari kekerasan terhadap anak kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan  kasus perbuatan tidak menyenangkan, setiap tahun persentasenya meningkat.
b.         Kita pahami bahwa anak adalah asset bangsa  juga sebagai modal manusia (human capital) dan investasi manusia (human investmen) yang harus dirawat dan dijaga, dipelihara  serta dikembangkan sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh anak tersebut juga sesuai dengan harapan pemerintah yaitu harapan yang positif untuk masa depan bangsa dan Negara, dan kita yang sekarang ini sudah tidak tergolong anak lagi tentunya akan tergantikan dengan anak-anak yang kita harapkan tersebut dan proses ini adalah proses alamiah.
c.          Perkembangan hidup anak dilingkungan dimanapun anak tersebut berada secara normal terlihat dari perilaku rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan ini tidak/kurang dipahami oleh lingkungannya sehingga anak menjadi sasaran ketidak tahuan tersebut yang mengarah kepada terjadinya kekerasan terhadap anak.
d.         Pola pikir anak dengan orang dewasa yang ada dilingkungnnya tentunya berbeda sehingga pemikiran terutama orang dewasa yang terkait dengan perbedaan ini perlu diperkecil dan bahkan dihilangkan melalui advokasi.

3.2.   Rekomendasi
a.          Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, upaya mengatasi/memperkecil/ menghilangkan terjadinya  kekerasan terhadap anak kasus perkosaan, pencurian, penganiayaan, penelantarana anak, melarikan anak di bawah umur, pengeroyokan, penipuan, perjudian, dan  kasus perbuatan tidak menyenangkan maka perlu dilakukan advokasi oleh organisasi/badan/lembaga/ instansi yang terkait dan merupakan suatu upaya persuasi yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut kekerasan terhadap anak tersebut.
b.         Mengatasi perilaku bagi pelaku kekerasan terhadap anak, maka direkomendasikan untuk dilakukan seminar atau workshop, sosialisasi, dan bimbingan teknis  oeleh BPSDM Provinsi Lampung

DAFTAR PUSTAKA

Deby_Priscika, 2015., Kekerasan Terhadap Anak, eprints.undip.ac.id

Elizabeth B. Hurloch, 1980., Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga:Jakarta.

Endaryono, Dampak Kekerasan Terhadap Anak (Pahami, ambil sikap dan action) dalam https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/ [26-9-2017; 10:46]

Masri Singarimbun, 1998., Kelangsungan Hidup Anak (Berbagai Teori, Pendekatan dan Kebijakan, Gadjah Mada University Press:Yogyakarta

M. Imam Syafei, 2016.,  Interaksi Stakeholder Dalam Menangani Kasus Kekerasan Anak Di Kota Bandar Lampung, Unila:Bandar Lampung





Peraturan Daerah Provinsi Lampung (Perda) Nomor 6 Tahun 2006 (6/2006) Tentang  Pelayanan Terpadu Terhadap Perempuan Dan Anak Korban Tindak Kekerasan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak