PEMIMPIN SEBAGAI COACH
MEMBENTUK CALON-CALON PEMIMPIN PERUBAHAN
Oleh:
Dr. Bovie
Kawulusan., M.Si
Widyaiswara Utama Bandiklatda Provinsi Lampung
Abstrak
Keberhasilan suatu organisasi umumnya
ditentukan oleh seorang pemimpin yang mampu menggerakkan orang lain atau para
bawahannya untuk mencapai tujuan. Secara ideal dalam suatu organisasi harus dipimpin
oleh seorang pemimpin yang spesialis generalis. Kenyataan yang ada ternyata
masih banyak terdapat pemimpin yang lebih kepada specialis dan belum generalis.
Artinya ketika terdapat permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anak buah
atau para staf yang dipimpinnya, pemimpin hanya mampu memberikan petunjuk,
saran dan arahan serta evaluasi untuk melihat dan mengetahui kinerja individu
sebagai yang menerima perintah dan memberikan gambaran sebagai kinerja
organisasi.
Gambaran kinerja organisasi merupakan salah satu
ukuran keberhasilan pemimpin dalam memimpin para stafnya apakah menghasilkan
kinerja tinggi, kinerja sedang atau rendah.
Kebanyakan pemimpin
organisasi
menghasilkan kinerja yang rendah sampai sedang dan jarang mencapai kinerja
tinggi. Pemimpin yang ideal dengan kinerja
tinggi adalah pemimpin yang memiliki kemampuan spesialis generalis yaitu
pemimpin bukan saja mampu memimpin tetapi juga mampu melatih para pengikutnya
untuk menjadikan calon-calon pemimpin perubahan, seperti dikemukakan oleh Bovie (2010:267) bahwa
pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang visioner, sinergistik dan
transformasional. Pemimpin oragnisasi dalam menghasilkan calon-calon
pemimpin perubahan tentunya disamping mampu memimpin juga harus mampu sebagai coach.
Pemimpin instansi mampu memimpin namun
belum tentu mampu melatih, Membentuk calon-calon pemimpin perubahan
disamping pengembangan SDM dalam
jabatan-jabatan struktural melalui kegiatan kediklatan, juga dapat dibentuk
melalui kegiatan rutin secara internal di instansi/kantor yang dilakukan oleh
pemimpin lembaga itu sendiri. Pemimpin disamping memanajemen yang terkait
dengan pencapaian tujuan organisasi, juga memiliki kemampuan tentang coaching, Membentuk calon-calon pemimpin
perubahan secara internal di instansi akan menjadi pemimpin perubahan ketika
pemimpin yang ideal dalam instansi tersebut sesuai dengan harapan pengikutnya
yaitu sebagai model. Secara ideal pemimpin dalam suatu organisasi adalah
pemimpin yang spesialis generalis dalam menghasilkan kinerja tinggi baik
kinerja individu, kelompok/tim maupun instansi.
Key Word:
Pemimpin, Coaching dan Pemimpin Perubahan
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Perubahan
bagi organisasi khususnya di sektor publik merupakan hal yang tidak terelakkan
akhir-akhir ini. Banyak faktor atau variabel penting yang menentukan berhasil
tidaknya perubahan organisisi meliputi pemimpin,
budaya, masalah Sumber Daya dan respons
yang cepat. Keberhasilan menjadikan organisasi secara efektif dan efisien serta
responsif terutama perubahan di sektor organisasi publik juga didukung oleh
tata kelola yang baik terkait dengan kebijakan, audit dan evaluasi, mereformasi
struktur sektor publik dan mengubah budaya. Disamping itu globalisasi memiliki
implikasi yang jauh lebih pekah terhadap segala aspek perubahan yang berakar
dari teknologi informasi yang menyangkut penguatan organisasi tata kelola
akibat dari keunggulan dalam mendapatkan dan mengolah informasi.
Kegagalan
organisasi untuk mencapai kinerja tinggi menurut survey program TQM (Total Quality
Management) oleh Schaffer dan Thompson (1992) dalam www.bloc.jtc-indonesia.com
mengungkapkan bahwa dari 300 perusahaan ternyata 90% gagal meraih perubahan dan hanya 10% yang
dikategorikan berhasil. Variabel kegagalan perubahan adalah kegagalan pemimpin
dalam mentransformasikan sebagai ciri utama kepemimpinan transformasional
berupa dorongan yang meliputi (prestasi, ambisi, energi, keuletan, inisyatif), sedangkan motivasi
(pribadi, atau sosial) kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kemampuan
kognitif, intuisi, kecerdasan emosional, kemampuan interpersonal yang unggul.
Dalam hal prilaku seorang pemimpin yaitu prilaku yang dapat diidentifikasi
meliputi (kepedulian kepada tugas), kepedulian pada orang, mengarahkan, dan
partisipatif. Menurut Blake dan Mouton dalam www.bloc.jtc-indonesia.com
mengatakan bahwa gaya pemimpin yang paling efektif adalah manajemen tim.
Transformasi
perubahan di lingkungan organisasi publik akan berjalan lambat ketika pemimpin
lini tidak mendukung prioritas tindakan; pembuatan keputusan berjalan lamban,
lemahnya kebersamaan dalam bekerja bersama, perubahan proses, ukuran, ganjaran,
dan prilaku untuk mendukung perubahan. Pengembangan melalui pelatihan
kepemimpinan khususnya melatih para pemimpin atau calon-calon pemimpin dan
memastikan transformasi yang berhasil dari seorang pemimpin. Pengembangan ini
difokuskan untuk mempercepat kolaborasi dan kontribusi. HP Company (Hawlett-Packard)
telah mengaplikasikan hasil dari pengembangan melalui diklat 94% dari alumni diklat telah melaporkan bahwa
para alumni telah menggunakan hasil diklat di unit kerjanya dengan hasil yang
dapat diukur baik dari segi waktu, uang, keputusan dan keselarasan yang cepat
dan tepat.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kemampuan mentransformasi
sangat menentukan perubahan artinya pemimpin harus berubah jika mengharapkan
peningkatan semangat kerja tim dan efisiensi dalam suatu situasi.
Kegagalan
pemimpin memperhatikan pentingnya masalah sumber daya khususnya sumber daya
manusia terhadap perubahan baik dilingkungan internal maupun eksternal adalah
karena baik pemimpin maupun pelatih yang memimpin organisasi dalam proses
perubahan tidak menaruh perhatian yang memadai terhadap masalah SDM di
lingkungan organisasi publik.
Keberhasilan
suatu organisasi, umumnya ditentukan oleh seorang pemimpin yang mampu
menggerakkan orang lain atau para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pertanyaan mendasar adalah apakah seorang pemimpin
cukup menggerakkan orang lain atau para bawahannya untuk mencapai tujuan
organisasi?. Pertanyaan ini tentunya membutuhkan kajian yang mendalam dan
mendasar untuk keberhasilan seorang pemimpin. Secara ideal dalam suatu
organisasi harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang spesialis generalis.
Kenyataan yang ada ternyata masih banyak terdapat pemimpin yang lebih kepada
specialis dan tidak generalis. Artinya ketika terdapat
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anak buah atau para staf yang
dipimpinnya, pemimpin hanya mampu memberikan petunjuk, saran dan arahan serta
evaluasi untuk melihat dan mengetahui kinerja individu sebagai yang menerima
perintah dan memberikan gambaran sebagai kinerja organisasi.
Gambaran kinerja organisasi merupakan salah satu
ukuran keberhasilan pemimpin dalam memimpin para stafnya apakah menghasilkan
kinerja tinggi ataukah kinerja sedang atau rendah. Kebanyakan pemimpin
organisasi menghasilkan kinerja yang rendah sampai
sedang dan jarang mencapai kinerja tinggi. Vincent
Gaspers dalam books.google.com/books?isbn [27-1-2014; jam 10.01] menyatakan
bahwa Organisasi Excelence yang
menunjukkan kinerja tinggi dapat dilihat dari berbagai sisi sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi. Dilihat dari sisi produktivitas kerja yang dicapai seseorang
dimana jika produktivitas meningkat < 25% ukuran kinerjanya rendah,
meningkat 25 s.d 50% ukuran kinerjanya sedang, dan > 50% ukuran kinerjanya
tinggi. Jika dilihat dari sisi peningkatan kualitas 50% ukuran kinerjanya
rendah, 50 s.d 90% kinerja sedang dan > 90% ukuran kinerjanya tinggi. Peningkatan
kualitas diukur melalui presentasi banyaknya produk yang memenuhi/tidak memenuhi
sesuai keinginan pelanggan, dan peningkatan produktivitas diukur melalui
berbagi cara misalnya jumlah produksi per-jam kerja setiap pegawai atau output
per total biaya yang dikeluarkan. Dilihat
dari ukuran standar pelayanan minimal (SPM) Kepmenpan 25 tahun 2004, bahwa Nilai Persepsi, Interval IKM
(Indeks Kepuasan Masyarakat), Interval
Konversi IKM, Mutu Pelayanan dan
Kinerja Unit Pelayanan yaitu: 1,00 – 1,75 (tidak baik), 1,76 -
2,50 (kurang baik), 2,51 - 3,25 (Baik), dan 3,26 – 4,00 (sangat baik).
Beberapa
hasil kajian tentang IKM menunjukkan bahwa 60% menunjukkan mutu pelayanan tidak
baik sampai dengan kurang baik, dan 40% mutu pelayanan dan kinerja baik,
sedangkan belum ada IKM yang dapat dicapai oleh instansi pemerintah dalam
pelayanan dan kinerja yang dikategorikan sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak tercapainya IKM pada kategori sangat baik karena pelayanan dari
lembaga/instansi pemerintah dan ini merupakan cerminan pemimpin untuk lebih
berinovasi sebagai pemimpin yang ideal dalam menghasilkan calon-calon pemimpin
perubahan.
Pemimpin
yang ideal dengan kinerja tinggi adalah pemimpin yang memiliki kemampuan
spesialis generalis yaitu pemimpin bukan saja mampu memimpin tetapi juga mampu
melatih para pengikutnya untuk menjadikan calon-calon pemimpin perubahan,
seperti dikemukakan oleh Bovie
(2010:267) bahwa pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang visioner, sinergistik
dan transformasional.
Menurut
Agus Triono (2012:3) bahwa pada zaman sekarang, kita hidup di dunia yang berubah sangat cepat, manusia selalu terpacu
atau memacu dirinya sendiri untuk mencapai produktivitas
tinggi
yang lebih bermutu dari sebelumnya, selanjutnya Agus Triono
(2012:88) menyatakan bahwa perlu
dilakukan pemahaman metode-metode belajar organisasi, sehingga program belajar
organisasi lebih terarah, dalam rangka pengembangan
organisasi, pengkajian
peraturan yang ada perlu dikakukan secara komprehensip untuk membuka peluang
improvisasi, perumusan kebijakan baru/lokal, dan perbaikan perumusan tujuan
yang telah ditetapkan, peningkatan pengetahuan anggota organisasi
secara individu penting untuk dilakukan dengan terencana, hal ini berfungsi
sebagai syarat diterapkanya belajar organisasi dalam rangka membangun modal
intelektual organisasi, yang akan bermuara pada peningkatan kinerja organisasi.
Ini menunjukkan bahwa salah satu metode belajar organisasi adalah melalui
coaching dimana seorang pemimpin mampu melatih bagi anggota organisasi secara
individual atau kelompok-kelompok kecil dalam organisasi untuk membentuk
calon-calon pemimpin perubahan.
Pemimpin perubahan jika dikaji ternyata pemimpin yang
memiliki kompetensi spesialis generalis yang secara ideal mampu mengelola
organisasi mencapai tujuan yaitu kinerja tinggi. Banyak variabel yang mendorong kebanyakan pemimpin
tidak memiliki kompetensi spesialis generalis karena mendapat intervensi dari
pemimpin di atasnya, kondisi atau situasi kantor yang tidak mendukung (iklim
kerja), dibatasi oleh aturan atau kebijakan, ketidak mampuan pribadi pemimpin
itu sendiri, dukungan sumberdaya minim dan sebagainya.
Pemimpin oragnisasi dalam menciptakan calon-calon
pemimpin perubahan tentunya disamping mampu memimpin, juga harus mampu sebagai coach dalam memberikan coaching kepada siapapun yang
dipimpinnya dan bukan terbatas kepada teori serta aturan-aturan yang berlaku
tetapi juga dengan praktek-praktek sebagai coach.
1.2.
Identifikasi
dan Rumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi
permasalahan, berdasarkan latar
belakang di atas maka teridentifikasi permasalahan yang terkait dengan pemimpin dalam membentuk
calon-calon pemimpin perubahan adalah sbb:
a.
Tingginya
perputaran dalam bentuk mutasi para
pemimpin dalam suatu organisasi ke
organisasi lain atau eksternal maupun internal
b.
Pemimpin
yang memiliki kemampuan tunggal/spesialis dan bukan kemampuan multi/generalis
c.
Pemimpin
yang masih terbatas dan mengarah kepada tugas memanajemen dan bukan memberikan
coaching
d.
Perkembangan
perubahan yang terjadi belum bisa diikuti oleh banyak pemimpin
e.
Kurangnya
pemahaman pemimpin tentang pemimpin perubahan
f.
Calon-calon
pemimpin perubahan dibutuhkan menjadi pemimpin
yang specialis generalis.
1.2.1. Rumusan masalah, berdasarkan latar belakang
dan identifikasi permasalahan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini
adalah: Bagaimana pemimpin sebagai coach
mampu memberikan coaching dalam membentuk calon-calon pemimpin perubahan di organisasinya.
1.3.
Tujuan
a.
Secara umum tujuan
penulisan ini adalah untuk mengkaji tentang pemimpin yang ideal dalam membentuk
calon-calon pemimpin perubahan
b.
Secara khusus tujuan
penulisan ini adalah a) memahami tentang pemimpin yang ideal yang memiliki
kemampuan spesialis generalis, b) pemimpin yang mampu sebagai coach dalam memberikan coaching kepada calon-calon pemimpin
perubahan.
1.4.
Manfaat
a.
Melalui tulisan ini
penulis mampu memperkaya ilmu pengetahuan dan wawasan tentang kajian pemimpin
dan coahcing dalam membentuk
calon-calon pemimpin perubahan
b.
Para pembaca dan
pemerhati tentang pemimpin yang ideal tentunya tulisan ini akan menjadikan
referensi sebagai pemimpin yang spesialis generalis dalam membentuk calon-calon
pemimpin perubahan.
1.5.
Metode Penulisan
Salah satu tahapan untuk menentukan tulisan ini sebagai
tulisan ilmiah
tentunya melalui analisis untuk mengkaji dan menjawab rumusan masalah tersebut
di atas yaitu tahap menganalisis data dengan analisis deskriptif berdasarkan
kajian pustaka.
II.
LANDASAN TEORI
2.1.
Pemimpin
Brown
(1986) dalam Mar’at (1985:9) mengatakan bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan
dari kelompok, dan boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi
di lapangan, dan menurut Krech
(1948) dalam Mar’at (1985:9) mengatakan
bahwa dengan kebaikan dari posisinya
yang khusus dalam kelompok ia berperan sebagai agen primer untuk
penentuan struktur kelompok, suasana kelompok, tujuan kelompok, ideologi
kelompok, dan aktivitas kelompok.
Cooley
(1902) dalam Mar’at (1985:8) menyatakan bahwa pemimpin selalu merupakan inti
dari tendensi dan dilain pihak seluruh gerakan sosial bila diuji secara teliti
akan terdiri atas pelbagai tendensi yang mempunyai inti tersebut.
Bernard (1927)
dalam Mar’art (1985:9) pemimpin dipengaruhi oleh kebutuhan dan harapan dari
para anggota kelompok yang pada gilirannya pemimpin tersebut memusatkan
perhatian dan pelepasan energi anggota kelompok ke arah yang diinginkan. Redl (1942) dalam Mar’at (1985:9)
menyatakan bahwa pemimpin adalah figur sentral yang mempersatukan kelompok.
Bingham
(1927) dalam mar’at (1985:10) mendefinisikan bahwa pemimpin sebagai seorang
individu yang memiliki sifat-sifat kepribadian dan karakter yang diinginkan.
Bernard mempertegas bahwa pemimpin harus memiliki wibawa dan harus mengetahui
stimulus apa yang dapat menghasilkan respon secara kolektif sesuai dengan
tujuannya serta mengembangkan teknik untuk mempresentasikan stimulus-stimulus
tersebut.
Pemimpin
menurut penulis ternyata tidak begitu saja menjadi seorang pemimpin dengan instan dan cepat namun melalui proses
yang dilandasi oleh kematangan dalam belajar, pengalaman dan bakat atau
talenta. Pertanyaan mengapa harus belajar, pengalaman dan talenta?, karena
dalam proses menjadi pemimpin tersebut terjadi akumulasi proses pembelajaran
yang berkesinambungan dari ketiga variabel tersebut.
Belajar
tentunya harus diikuti dengan implementasi dalam bentuk pengalaman dan
implikasinya merupakan gambaran dari pribadi seorang pemimpin apakah dilakukan
karena bakat atau tidak. Pengalaman tentunya memberikan tambahan kekuatan
mengaplikasikan pengetahuan yang
diperoleh dari hasil belajar yang diperoleh sesuai dengan kompetensi yang
dimiliki dari pendidikan formal maupun informal.
Pengamatan
dalam proses pembelajaran merupakan hasil yang dapat menjadi pertimbangan bagi
seorang dalam proses seorang pemimpin sebagai gambaran prilaku pemimpin yang
bermutu. Pengalaman juga sebagai kekuatan yang dilandasi oleh kemampuan dalam
mengekspresikan dirinya di mana pemimpin itu berada baik di lingkungan
organisasi, keluarga maupun di lingkungan masyarakat dan di lingkungan
organisasi atau instansi/kelembagaan.
Kualitas
pemimpin memang tidak lepas dari pengamalan dalam lingkup tertentu yang terlihat
dari prestasi yang diperoleh atas kepemimpinannya, dengan demikian kebanyakan
seorang pemimpin sering kali keberhasilannya dilihat dari trace_record atau rekam jejak seorang pemimpin yang dimilikinya.
Kualitas seorang pemimpin juga dilihat dari hasil evaluasi dan hasil kerja
sebagai pemimpin dimana hasil kerja ini dievaluasi oleh orang lain seperti para
pengikut atau yang dipimpinnya.
Bakat
atau talent yang dimiliki seseorang
khususnya dalam hal bakat seseorang menjadi pemimpin berada dalam diri
seseorang yang dibawa sejak lahir sebagai warna yang kuat seperti sikap,
prilaku, kemauan yg tinggi untuk mencapai visi dalam menghadapi dan membawa
perubahan dalam lingkup kecil, sedang maupun luas dan tergantung dari dan
dimana seseorang tersebut memimpin.
Bakat
atau talent yang diperkuat dengan
belajar dan pengalaman yang luas tentunya akan mampu membawa perubahan dalam
kepemimpinannya untuk mencapai kesuksesan sebagai gambaran adanya suatu
cerminan dari hasil proses pembelajaran.
Berdasarkan
teori di atas maka sifat dasar pemimpin menurut penulis adalah:
1. Integritas
dan komitmen (jujur, tegas/konsisten, disiplin, tanggung jawab, cintai profesi
dan hargai profesi/prioritas profesi)
2. Base of Power (Reward power, Coersive power/memberi
hukuman/paksaan, refferent power, legitimate power, dan expert power)
3. Proses
pembelajaran untuk menjadi seorang pemimpin harus dilakukan berdasarkan hasil
belajar, pengalaman dan bakat/talenta
Kompetensi
pemimpin pada tingkat Operasional maupun
pada tingkat Taktikal menurut Agus Dwiyanto (2013/12:8,8) dimana pada tingkat operasional harus memiliki kompetensi
membangun karakter, membuat perencanaan, melakukan motivasi, dan mengoptimalkan
seluruh potensi sumber daya internal dan eksternal organisasi, sedangkan pada
tingkat taktikal harus memiliki
kompetensi mengembangkan karakter integritas, etika publik, termasuk peraturan
perundang-undangan, menjabarkan visi dan misi, melakukan kolaborasi internal
dan eksternal, melakukan inovasi, dan mengoptimalkan seluruh potensi sumber
daya internal dan eksternal organisasi.
Pemimpin
perubahan menurut Agus Dwiyanto (2013/12:6,6) mampu menunjukkan kinerja dalam
merancang suatu perubahan di unit kerjanya serta memimpin perubahan sehingga
menghasilkan hasil kinerja yang signifikan. Menurut Agus Dwiyanto
(2013/12:8,8), pemimpin perubahan harus
mampu merancang perubahan dan membangun tim yang komprehensif menuju kondisi
ideal dari program organisasi yang dicita-citakan.
2.2.
Coaching
Budaya
organisasi sebagai usaha untuk mencapai perbaikan kinerja yang sungguh-sungguh
oleh para pemimpin harus memakai gaya manajemen berbasis coaching. Menurut John Whitmore (2002:9) Coaching atau pelatihan memfokuskan diri pada kemungkinan kegiatan yang akan datang, bukan
pada kesalahan masa lalu. Coach atau
pelatih dan sebagai pemberi pembelajaran dan pelatihan yang singkat secara
individu apakah dalam bentuk les privat,
melatih, memberi petunjuk, memberi penjelasan dengan fakta dan praktek
aplikasinya. Hal ini terlihat tidak banyak membantu karena terlalu banyak cara,
dan beberapa tidak mempunyai kaitannya dengan coaching.
Coaching
lebih banyak menyangkut bagaimana hal-hal tersebut dapat dilakukan daripada
mengenai hal-hal yang dipertimbangkan untuk dilakukan. Coaching
lebih memberikan hasil dalam ukuran besar karena terkait dengan hubungan yang
saling menunjang antara instruktur dengan yang dilatih dengan sasaran yang
paling penting yaitu untuk meningkatkan kinerja yang tinggi, dan inilah yang menjadi persoalan
untuk dipecahkan. Esensi dari Coaching menurut John Whitmore (2002:10) coaching membuka potensi seseorang untuk
memaksimalkan kinerja mereka sendiri, membantu mereka untuk belajar bukan untuk
mengajar.
Awalnya
coaching mencul pada kalangan bisnis,
namun belakangan penulis melihat bahwa coaching
tidak hanya berlaku bagi pebisnis namun juga terbaik dilakukan bagi kalangan aparatur
pemerintah yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat karena harapan para
pemimpin tentunya mengharapkan para bawahan harus berani untuk memberikan
penjelasan tentang ketidaktahuan tentang penjabaran dari makna coaching itu sendiri. Menurut John Whitmore (2002:2) coaching adalah sebuah perilaku
manajemen yang terletak pada ujung yang berlawanan dari jangkauan/spektrum
untuk memberi perintah dan pengendalian.
Menurut
Agus Dwiyanto (2013/12:29,29) coach
adalah pembimbing yang memiliki kompetensi dalam hal: 1) membekali peserta
dengan kompetensi yang diperlukan, 2) memotivasi calon pemimpin melalui
konsultasi selama tahap breakthrough
dalam menemukan terobosan.
2.3.
Pemimpin
Perubahan
Tuntutan
untuk berubah dalam praktek tidak pernah akan surut sampai kapanpun. Secara
intelektual, budaya untuk berubah dapat diterima, namun belakangan ini
terdengar ungkapan bahwa jika harus bertahan hidup maka perlu ada perubahan dengan pendapat yang
berbeda. Jika terdapat kebiasaan masa lalu yang orientasi kepada biasa-biasa
saja maka tidak akan terjadi perubahan. Pertanyaan yang muncul bagi kita adalah
bagaimana kita mengetahui bahwa perubahan yang terjadi akan membuat kita
semakin lebih baik, dan dalam jangka waktu berapa lama?. Reaksi yang terjadi
berbagai pendapat mengatakan bahwa selama ini sudah melakukan perubahan dan
ternyata tidak membawa perbedaan antara apapun yang kita tuju atau yang kita
capai sesuai dengan harapan.
Secara
logika, memang perubahan itu harus menunjukkan adanya perbedaan sekecil apapun
ataupun perbedaan besar dari yang diharapkan. Melakukan perubahan pada suatu
sisi tentunya akan berdampak kepada perubahan pada sisi yang lain secara sistem.
Secara sinis juga ada yang mengatakan bahwa perubahan tidak perlu ada atau
tidak perlu dilakukan atau singkatnya tidak perlu melalukan atau tidak perlu
berbuat apapun. Kembali kepada pernyataan ini menunjukkan bahwa semua itu
tergantung dari selera mau melakukan perubahan atau tidak, atau mau berubah
atau tidak.
Perubahan
biasanya sebagian orang memandang akan memunculkan kekecewaan yang terancam
akibat dari ketidak pastian yang tidak terelakkan, namun dengan kekecewaan dan
ketidak pastian tersebut bagi sebagian orang lagi terdorong untuk berusaha
lebih baik dan dihadapi untuk mengelola perubahan tersebut dan meyakinkan
kekecewaan dan ketidakpastian yang dipikirkan sebagian orang akan menghasilkan
kebaikan dan kepastian sesuai dengan tujuan perubahan yang dilakukan.
Beberapa
hal praktis yang terlihat sampai saat ini tentang perubahan seperti persaingan
global yang semakin menunjukkan hal-hal yang tidak bisa dipungkiri untuk
dihadapi dan memaksakan kita untuk mengikuti perubahan tersebut untuk melangkah
kedepan menuju efisiensi, efektifitas, responsif, fleksibel dsb. Perkembangan
teknologi yang diawali dari inovasi teknologi sering memberikan petunjuk bagi
pemimpin untuk mengetahui bahwa betapa pentingnya perkembangan teknologi dan
mendorong untuk memahami dan mengaplikasikannya baik untuk kepentingan pribadi
maupun untuk kepentingan tim kerja yang mengarah kepada keberhasilan kinerja
organisasi.
Perubahan
lainnya yang sangat mendasar seperti perubahan demografis akan berdampak kepada
perubahan yang terkait dengan luas wilayah/lahan, kebutuhan anggaran
pemerintah, kualitas hidup, atau singkatnya berpengaruh kepada variabel
psikologis, sosial, ekonomi, politik baik secara regional maupun global.
Pertumbuhan penduduk berdampak kepada pendapatan, ketersediaan lapangan kerja,
persaingan dalam pendidikan, kesehatan, serta ketersediaan sumber daya alam.
Inti dari semua itu adalah bagaimana perubahan yang terjadi sebagai perubahan
budaya dapat dipahami dan diterima oleh semua kalangan.
Pertanyaan
yang dikemukakan oleh masyarakat adalah perubahan dari apa ke apa, dari mana
kemana dan seterusnya. Tentunya pertanyaan ini menyangkut komitmen antara dua
pihak atau konsensus individual sebagai suatu perspektif yang mengarah kepada
keberhasilan kerja atau kinerja yang akan dicapai pada level yang ditentukan.
Menurut
Agus Dwiyanto (2013/12:37,37) Kualitas Pemimpin perubahan adalah pemimpin yang
mampu menunjukkan kualitas perubahan yang meliputi 1) identifikasi perubahan, 2)
rancana perubahan, dan 3) pemimpin perubahan. Identifikasi perubahan meliputi
a) ketepatan lingkup dan fokus perubahan, b) kelayakan perubahan, c)
rasionalitas perubahan, d) dukungan stakeholder, dan e) manfaat perubahan.
Rancangan perubahan meliputi: a) kejelasan sasaran perubahan, b) kejelasan
identifikasi stakeholder, c) kejelasan langkah-langkah mewujudkan perubahan,
dan d) sistimatika penulisan laporan. Pemimpin perubahan meliputi: a) kemampuan
mempengaruhi stakeholder, b) kemampuan membangun tim yang efektif, c)
ketangguhan dalam melaksanakan rencana perubahan, d) kualitas implementasi
rancangan perubahan, dan e) kepatuhan terhadap etika birokrasi.
Gambar 1: Kerangka Pikir Menghasilkan Pemimpin Perubahan
dengan Kinerja Tinggi
III.
PEMBAHASAN
Seorang
pemimpin memiliki dua fungsi yaitu:
1) menyelesaikan pekerjaan, dan
2) mengembangkan
sumber daya manusia. Sudah sering para pemimpin
sibuk mengerjakan tugas yang pertama dan mengurus yang ke dua. Kedua fungsi tersebut dapat bersatu ketika coaching digunakan sebagai suatu gaya
pemimpin, dengan demikian dalam tim jika dikelola dengan baik dan dengan cara coaching maka pekerjaan dapat
diselesaikan dengan baik dan pada saat yang sama tim tim ikut juga berkembang,
tetapi dalam penerapannya akan
sangat berbeda dalam melakukan coaching untuk
pelaksanaan tugas terkait dengan pengembangan tim.
Melakukan
coaching bagi sebuah tim untuk
melaksanakan suatu tugas didasarkan
pada prinsip-prinsip yang sama seperti coaching bagi perorangan. Semakin besar
kesadaran sebuah tim, baik
secara individu maupun secara kolektif, maka semakin baik kerja tim tersebut. Suatu
tim melaksanakan tugas dalam menangani pekerjaan kantor, tentunya ketua tim melakukan coaching para
anggotanya sekaligus mengajukan pertanyaan tentang retorika dan mengatur para anggota tim
duduk dalam kelompok-kelompok kecil (2 atau 3 orang) untuk mendiskusikan
jawaban yang mereka temukan dari pertanyaan yang mereka terima, lalu melaporkan kesimpulan mereka pada kelompok secara menyeluruh. Menukar-nukar
orang sebagai anggota tim (masih
dalam tim besar) dengan fungsi yang berbeda, untuk proses ini agar merangsang
berbagai gagasan baru dari anggota tim dan ikut ambil bagian dalam salah satu
dari dua atau tiga orang dalam tim tersebut.
Melalui
cara atau metode ini setiap anggota tim akan mampu merumuskan berbagai sasaran
yang dituju, dan semua anggota tim akan
memberikan masukan yang perlu agar kenyataan tersebut dapat dipahami dengan
jelas. Sumber
daya dan gagasan dari seluruh tim dikerahkan untuk melakukan pengumpulan
gagasan untuk memperoleh pilihan. Berdasarkan pilihan tersebut rencana tindakan
akan dicapai, disepakati dan terus didorong oleh “kehendak/keinginan” sebagai gabungan dari tim-tim
tersebut. Tentu saja ketua tim tidak hanya mengajukan pertanyaan coaching, tetapi juga memberi
input setiap saat secara pribadi. Dengan metode ini pelaksanaan tugas akan menjadi jauh
lebih baik bila sumber daya disatukan dan seluruh tim menjadi sadar serta
bertanggung jawab.
Ketua
tim dalam beberapa situasi akan melakukan coaching kepada kelompok, seperti
dalam meninjau kembali pelaksanaan suatu tugas masa lalu dari tim tersebut.
Ketua tim mampu melakukan coaching dengan seluruh anggota tim ketika menjawab pertanyaan, tetapi ketua tim
juga bisa meminta secara tertulis dan bukan mengucapkan dengan jawaban secara
kata-kata mereka. Hal ini akan membuat masing-masing anggota tim mampu dan
serentak memeriksa secara lebih rinci sumbangan pemikiran secara individu kepada
tugas-tugas secara menyeluruh. Pertanyan dapat dibuat seperti:
1. Manakah
bagian dari tugas saudara yang paling sulit dan menghabiskan waktu dan membuat
stress bagi saudara?
2. Berapa
lama waktu yang saudara dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas tersebut
3. Apa
yang sulit mengenai tugas tersebut
4. Apa
yang sdr lakukan secara berbeda pada kesempatan berikutnya.
5. Siapakah
yang perlu tahu tentang perubahan yang saudara lakukan?
6. Dukungan
apa yang saudara perlukan?, dari siapa?, dan bagaimana saudara bisa
mendapatkannya.
7. Kalau
saudara melakukan hal tersebut, bagaimana hal itu dapat mempengaruhi hasil/
orang lain/kualitas pekerjaan/waktu?
Setiap
anggota tim harus mampu berbagi dengan anggota tim lainnya tentang apa yang
terjadi pada mereka dan memecahkannya setiap perubahan yang dirasakan
bertetntangan. Pross ini harus benar-benar karena mengeluarkan semua ide-ide
dari yang besar sampai yang sekecil-kecilnya, dari yang tersirat sampai yang
tersurat, mampu memastikan kejelasan dan pemahaman, mengambil persediaan
sumberdaya tim, meningkatkan rasa memiliki dan komitmen, serta membangun harga
diri dan motivasi dalam tim.
Bagi
beberapa pemimpin tim, semua ini rasanya mungkin tidak perlu atau buruk dan
hanya sebagai sampah, karena beberapa pemimpin juga tidak percaya bahwa
partisipasi, keterlibatan, harga diri, tanggung jawab bersama,
kepuasan, dan kualitas kehidupan ditempat kerja adalah barang mewah yang tidak
mampu untuk kita lakukan, dan bahwa hal-hal seperti itu tidak mempunyai sumbangan apapun
bagi kinerja. Sebaliknya argumentasi yang diberikan disini tidak dengan
sendirinya menyakitkan mereka, namun
pada waktunya akan berkurang, tidak mempengaruhi kinerja dan ketidakmampuan
mereka untuk membangun tim.
Sangat
penting bagi seorang pemimpin untuk membangun suatu hubungan “yang benar” dengan para anggota tim yang berbeda di bawah
asuhannya dan
diawali sejak bertemu pertama kalinya. Hal ini dilakukan karena prilakunya akan
dianggap sebagai model atau contoh oleh anggota timnya. Anggota tim cenderung
akan cenderung menyamainya, walaupun awalnya kemungkinan mereka melakukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan persetujuannya ketika
mereka berada dalam tahap inklusi dan pengembangan tim.
Bila
ketua tim sebagai pemimpin ingin menciptakan keterbukaan dan kejujuran di dalam
tim, maka
pemimpin perlu menjadi terbuka dan jujur sejak dari awal, dan jika pemimpin
menginginkan agar anggota tim mempercayainya dan saling percaya satu dengan
yang lainnya maka pemimpin harus mampu memperlihatkan sikap mempercayai dan
dapat dipercaya.
Mayoritas
individu dan tim masih tetap
mengharapkan pemimpin yang agak otokratis artinya dari persepsi seorang
pemimpin yang otokratis adalah pemimpin yang egois, disini bawahan harus setia
kepadanya sebagai perwujudan sehingga dalam mengambangkan tujuan
organisasi identik dengan tujuan pribadinya, karena organisasi yang
dipimpinnya diperlakukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadinya. Jika
dilihat dari segi nilai yang dianutnya, maka pemimpin otokratik itu menganut
nilai bahwa segala sesuatu tindakannya dianggap benar bilamana tindakan
tersebut adalah untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuannya. Bilamana
terdapat suatu tindakan yang dianggap tidak benar atau sebagai penghalang dan
harus disingkirkan.
Pemimpin
otokratik dari segi sikap yang diambil,
akan menunjukkan sikapnya dalam bentuk: 1) kecenderungan memperlakukan bawahan
sama dengan alat dalam organisasi dan kurang menghargai harkat dan martabat
bawahannya; 2) mengutamakan orientasi
terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa adanya keterkaitan dengan
kepentingan dan kebutuhan bawahan; 3)
mengabaikan peranan bawahan dalam proses pengambilan keputusan sehingga
bawahannya hanya dituntut untuk
sebagai pelaksana saja. Dari segi prilaku, pemimpin otokratik akan
sangat sulit bahkan tidak akan mau menerima saran dan pandangan dari bawahannya, terlebih
lagi dalam bentuk kritik, maka
dapat diartikan sebagai usaha merongrong kekuasaannya.
hhttp://pemimpin-otokratik/
[08-01-2014; 13:25] menggambarkan bahwa gaya pemimpin otokratik dalam
prakteknya memiliki gaya sebagai berikut: 1) menuntut ketaatan penuh dari para
bawahan; 2) dalam hal penegakan disiplin, gaya pemimpin otokratik akan bersifat kaku;
3) bernada keras dan paksa dalam pemberian
perintah atau instruksi; 4) menggunakan pendekatan punishman (hukuman) bila
terjadi kesalahan atau penyimpangan oleh bawahan. Permasalahan yang timbul dari
gaya otokratik adalah: 1) keberhasilan yang dicapai adalah karena ketakutan
bawahan terhadap atasannya dan bukan atas dasar keyakinan bersama; 2) disiplin
yang terwujud selalu dibayangi dengan ketakutan akan hukuman yang keras bahkan
pemecatan; 3) untuk efektifitas kinerja bawahan akan melorot drastis jika
ketaatan dan disiplin kerja menurun.
Pemimpin
yang otokratis sering kali membuat bawahan terkejut bahkan bingung oleh seorang
pemimpin yang memulai dengan nada yang sangat partisipatif. Beberapa orang
bahkan membayangkan pemimpin tersebut adalah lemah dan tidak percaya kepada
dirinya sendiri. Dianjurkan untuk mengantisipasi
hal ini pada hari pertama dengan cara memaparkan gaya memimpin yang dimaksudkan dan
memancing dengan pertanyaan mengenai hal tersebut.
Pemimpin
harus mampu
dan rela sebagai ketua tim untuk mengerahkan waktu dan tenaga dalam
mengembangkan timnya sambil mengarahkan pandangan pada hubungan jangka panjang
dan kinerja yang tinggi dan berkualitas sebagai lawan dari hanya membuat
pekerjaan yang selesai dalam jangka
pendek. Apabila pemimpin hanya bisa menyatakan hal-hal yang baik tanpa dapat
dilaksanakannya sendiri tentang
prinsip-prinsip membangun
tim maka pemimpin tersebut tidak akan mendapatkan lebih dari apa yang telah diberikannya
sebab pengabdian kepada tim akan memberikan hasil yang baik.
Coaching
merupakan sarana utama baik untuk mengelola maupun untuk mengembangkan tim.
Peter Lenny dalam John Whitmore (2002:174) mengatakan bahwa “bila anda bisa
melakukan coaching, anda tidak bisa
mengelola” menjadi suatu aksioma
korporat. David Kenney dalam John Whitmore (2002:174) juga mengatakan bahwa
bagian dari tugasnya adalah “untuk menjamin bahwa 100% para manajer kita perlu
berprilaku sebagai instruktur yang baik”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa
sebelum melakukan coaching kepada
anggota tim, pemimpin harus mampu memahami tentang
prinsip-prinsip coaching tersebut
karena pemimpin yang baik harus mampu menjadi instruktur yang baik.
Penerapan coaching dalam tim, sebagai model pengembangan
tim yang dipaparkan membentuk suatu dasar yang sangat baik bagi penerapan coaching dalam tim. Bila pemimpin atau
instruktur memahami bahwa tim harus
berprestasi paling baik kalau tim
tersebut mencapai tahap “bekerja bersama”, maka
pemimpin akan menggunakan coaching dengan tim secara keseluruhan maupun
dengan setia para
anggota, untuk membangkitkan kemajuan melalui tahap-tahap tersebut. Sebagai contoh apabila “sasaran”
yang telah disepakati untuk mengangkat tim untuk tahap “bekerja bersama” dan
“kenyataan” yang ada sekarang adalah di suatu tempat antara “inklusi” dan
“ketegasan” apa “pilihan” yang kita miliki dan apakah yang kita “kehendaki”.
Program
membangun tim untuk membentuk pemimpin perubahan sebagai berikut:
1. Bicarakan
dan sepakati definisi dari sejumlah sasaran bersama untuk tim. Ini harus dilakukan
dalam tim tanpa memandang apakah organisasi telah mendefinisikan sasaran tim. Memang
selalu ada peluang untuk perubahan dan untuk memutuskan bagaimana cara itu harus
dilakukan. Setiap
anggota tim harus diajak untuk memberi kontribusi dan juga untuk
menambahkan sasaran pribadi apa saja yang bisa dicakup dalam sasaran tim secara
keseluruhan.
2. Kembangkan
sejumlah aturan dasar dan atau prinsip-prinsip operasi yang dapat diterima
seluruh anggota tim dan padanya semua perlu memberi kontribusinya. Semua
anggota tim harus sepakat untuk mematuhi aturan ini, meskipun mereka tidak
mendukung setiap hal dengan sepenuh hati. Kalau mereka menginginkan harapan mereka
untuk dimasukkan, sangatlah penting bahwa mereka setuju untuk menghormati
harapan orang lain juga. Aturan dasar ini harus diperiksa secara berkala
seperti apakah mereka masih setia kepada aturan dasar tersebut dan apakah
aturan itu harus dirubah atau disesuaikan dengan keadaan. Apabila semua pihak
setuju terhadap aturan ini secara tulus dan dengan niat baik, tuduh menuduh
yang kasar tidak perlu terjadi terhadap pelanggaran, kecuali pelanggaran
tersebut sering terjadi.
3. Sisihkan
waktu secara teratur, biasanya
bersamaan dengan pertemuan yang dijadwalkan, untuk proses kerja kelompok. Selama periode ini, aturan dasar ditinjau
kembali, pujian
dan keluhan diungkapkan dan berbagai perasaan pribadi dapat dimasukkan sehingga
keterbukaan dan kepercayaan dibangun,
sehingga para anggota tim dihargai sebagai manusia, tidak hanya sekedar sebuah
roda penggerak dalam mesin produksi. Periode
ini tidak boleh digantikan dengan pembicaraan tentang tugas.
4. Periksalah
pandangan anggota tim tentang keinginan untuk mengadakan pertemuan sosial bersama.
Apabila suatu
peristiwa berkala direncanakan, pilihlah dari seorang individu untuk tidak hadir karena
janji yang sudah dibuat sebelumnya dan kebutuhan waktu untuk keluarga yang
lebih banyak, harus
dihormati. Sebaliknya juga harus siap untuk suatu perasaan kesepian sebagai
akibat daripilihannya itu.
5. Buatlah
sistem pendukung, secara rahasia bila perlu, untuk menangani kesulitan dan
keprihatinan dari individu ketika hal-hal tersebut timbul. Apabila pertemuan
proses tidak dapat
dilakukan terlalu sering karena alasan geografis atau alasan lainnya, suatu sistem pertemuan bisa
dibangun dengan jalan setiap anggota
tim mempunyai
satu lagi anggota sebagai seorang teman kepada siapa mereka bisa berbicara bila
perlu. Dengan cara ini, masalah yang sumir dapat dipecahkan dengan segera dan
waktu pertemuan proses yang berharga tersebut tidak terbuang dengan percuma.
6. Kembangkan
minat bersama di luar pekerjaan. Beberapa tim telah menemukan bahwa sebuah
kegiatan kelompok seperti
olah raga atau suatu minat bersama diluar pekerjaan yang dibagikan bersama oleh
semua anggota bisa sangat mengikat bagi tim.
7. Pelajari
ketrampilan-ketrampilan baru dan secara bersama-sama. Hal ini lebih berorientasi kepada
tugas dimana beberapa tim sepakat untuk mempelajari suatu
ketrampilan baru seperti coaching, atau bahasa, atau kursus yang terkait dengan
pekerjaan bersama. Ini bahkan bisa menjadi persaingan yang sehat dengan
tim lain di luar wilayah dalam organisasi yang sama.
8. Praktikan
latihan sifat itu secara bersama-sama. Hubungan tim mengambil manfaat besar
dari para anggota dengan membuat variasi yang tepat di antara mereka sendiri
mengenai latihan sifat-sifat (komunikatif, empati, sabar, ketrampilan komputer,
kemampuan administrasi, antusiasme, waspada dan setia, dan kompetensi pembukuan.
Ini memberikan
penjelasan tentang sifat tertentu yang membantu menumbuhkan sifat tersebut
serta membangun kepercayaan, pengertian
dan keterbukaan di antara para anggota tim dengan sangat cepat. Hal tersebut
bisa diulang dalam bentuk yang serupa atau bentuk lain secara teratur, seperti
pada setiap dua pertemuan proses.
9. Selenggarakan
diskusi kelompok tentang makna dan tujuan individu dan kolektif/kelompok
sebagaimana dilihat oleh anggota kelompok/tim.
Membentuk
pemimpin perubahan dapat berhasil jika pemimpin sebagai coach (pemimpin yang ideal) mampu dan dapat mendefinisikan sejumlah
sasaran, kembangkan sejumlah aturan dasar dan prinsip prinsip operasional,
menyisihkan waktu secara teratur, mengevaluasi pandangan-pandangan anggota
kelompok/tim, membuat sistem pendukung untuk menghadapi kesulitan yang ditemui,
mengembangkan minat bersama di luar pekerjaan utama, menemukan dan mempelajari
ketrampilan-ketrampilan baru secara bersama-sama, mempraktekkan latihan secara
bersama-sama, dan lakukan diskusi kelompok tentang makna dari tujuan-tujuan
individu untuk kepentingan kelompok/tim dalam rangka pencapaian kinerja tinggi,
baik kinerja individu, kelompok maupun organisasi.
IV.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
latar belakang, tujuan dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Pemimpin
instansi mampu memimpin namun belum tentu mampu melatih;
b. Membentuk
calon-calon pemimpin perubahan disamping
pengembangan jabatan-jabatan struktural melalui kegiatan kediklatan,
juga dapat dibentuk melalui kegiatan rutin di kantor yang dilakukan oleh
pemimpin lembaga itu sendiri untuk melihat kemampuan calon-calon pemimpin perubahan
yang memiliki kompetensi;
c. Pemimpin
disamping memanajemen yang terkait dengan pencapaian tujuan organisasi, juga
memiliki kemampuan tentang coaching;
d. Membentuk
calon-calon pemimpin perubahan secara internal di instasi yang akan menjadi
pemimpin perubahan ketika pemimpin yang ideal dalam instansi tersebut sesuai
dengan harapan pengikutnya yaitu sebagai model;
e. Secara
ideal pemimpin dalam suatu organisasi adalah pemimpin yang spesialis generalis
mampu memanage dan mengcoach para pengikutnya.
4.2.
Rekomendasi
a. Seorang
pemimpin yang belum atau kurang memahami tentang coaching perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan tetang kemampuan coaching untuk menghasilkan pemimpin
yang ideal untuk menghasilkan calon-calon pemimpin perubahan.
b. Secara
internal pemimpin organisasi diharuskan membentuk individu dalam tim-tim kecil di
lingkungan organisasi sebagai suatu strategi
untuk mencari dan menghasilkan calon-calon pemimpin perubahan yang tidak saja
specialis tetapi generalis.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto,
2012., Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 12 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III,
LAN:Jakarta
Agus Dwiyanto,
2013., Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 13 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV,
LAN:Jakarta
Agus Triono,
2012., Bandiklatda Sebagai Organisasi Belajar, Unila: Bandarlampung
Bovie, 2010., Strategi Pengembangan
Diklat, UPI:Bandung
Dino Patti Djalal, 2007., Harus Bisa
(Memimpin Ala SBY), ......:Jakarta
Janet E
Esposito, 2003., Conffidence person
(Rahasia-rahasia Tampil Percaya Diri Dalam Segala Situasi, Prestasi
Pustaka:Jakarta
John
Whitmore., Coaching for Performance (Membangun Individu, Kinerja, dan Sasaran,
PT. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta
Malayu S.P. Hasibuan, 2001., Manajemen Sumber Daya Manusia (Edisi revisi),
Bumi Aksara, Jakarta.
Mar’at, 1985.,
Pemimpin dan Kepemimpinan (Psikologi), Ghalia Indonesia:Jakarta
Nana Rukmana
DW, 2008., 99 Ideas for Happy Leader, Zip Books:Bandung
Oren Harari,
2005., The Leadership Secrets of Colin Powel (Sebuah Paradigma Baru
Kepemimpinan), Gramedia Pustaka Utama:Jakarta
Kepmenpan No.
Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi
Pemerintah,
Menpan:Jakarta
www.bloc.jtc-indonesia.com, 22 Januari 2014 [09:22].,
Mengapa Strategi Manajemen Perubahan Gagal?, oleh Xiongwey Song books.google.com/books?isbn 27
Januari 2014 [10.01]., Organizational Excellence.
No comments:
Post a Comment