(Oleh: Dr. Bovie Kawulusan., M.Si)
Abstrak
Tiga
hal penting sebagai dimensi ranah pendidikan bagi setiap manusia adalah
kognitif, psikomotor dan afektif yang terlihat dari kapasitas setiap manusia. Sumber
daya yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang memiliki pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang diharapkan oleh masyarakat tentunya juga memiliki
watak atau berkarakter yang juga sesuai dengan keinginan masyarakat serta dapat
digunakan sebagai kekuatan moral dalam melaksanakan kehidupannya.
Peserta
didik saat diterima di salah satu lembaga pendidikan baik di tingkat sekolah
dasar, menengah pertama, menengah atas bahkan perguruan tinggi dan pada
lembaga-lembaga pendidikan dan latihan sangat terlihat dengan jelas perbedaan
karakter antara satu dengan yang lain yang diakibatkan oleh adat istiadat
seperti sopan santun, prilaku atau etika dimana peserta didik tersebut berasal,
terutama dari lingkungan keluarga, dan masyarakat yang berbeda satu dengan yang
lain.
Secara
nyata terlihat berbagai peristiwa yang terjadinya bagi setiap manusia melalui kontradiksi, komplikasi, ambivalensi
yang senantiasa menjadi bagian dari pengalaman eksistensinya, termasuk
ketertutupan dalam mengatasi masalah yang dihadapi sehingga ada kemungkinan
untuk terjadi ketidak sesuaian yang menyebabkan timbulnya peristiwa-peristiwa
yang merasahkan.
Hal
tersebut terjadi disebabkan karena 1) pemahaman tentang pendidikan karakter
belum merata baik bagi peserta didik maupun bagi para guru, dosen, widyaiswara
dan atau bagi mereka yang berkecimpung dalam proses pembelajaran terutama dari
ranah kognitif, psikomotorik dan afektif); 2) masih terjadinya perilaku yang
tidak diinginkan yang dilakukan oleh beberapa guru, dosen, atau widyaiswara; 3)
peserta didik belum mampu membedakan tentang etika, moral, jujur atau yang
berkaitan dengan karakter; 4) kerjasama antara lembaga pendidikan dengan para
stekholder belum maksimal; 5) terjadinya peristiwa yang menghawatirkan dalam dunia
pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia.
Sebagai
seorang pendidik, di dalam pendidikan karakter tentunya juga harus memahami
tentang perkembangan prilaku peserta didik yaitu: 1) pada tahap I (0 - 10
tahun), Tahap II (11 – 15 tahun) dan Tahap III (15 tahun ke atas); 2) guru
berkarakter dan memiliki keutamaan merupakan role model dan cerminan peserta
didik yang berkarakter dan memiliki keutamaan, karena peserta didik dilahirkan
sama seperti kita saat dilahirkan dengan potensi jasad, akal dan mental rohani
yang siap menerima pengaruh lingkungan; 3) setiap manusia dilahirkan
berkarakter lemah dan diperlukan pengarahan, pembiasaan, penguatan dan
pelemahan karena pada tahap ini lebih
kepada prilaku lahiriah, demikian pula pada tahap-tahap selanjutnya; 4)
pendidikan karakter yang kita harapkan tentunya juga harus melihat pada tahapan
perkembangan perilaku dari objek yang kita hadapi; 5) Kualitas kinerja pendidik
dalam pendidikan karakter kepada peserta didik harus dilakukan sesuai dengan
kompetensi yang meliputi kompetensi (intelektual, pribadi dan sosial); 6)
proses internalisasi terjadi saat seseorang mencapai perkembangan prilaku pada
tahap ketiga yaitu mulai pada umur 15
tahun ke atas.
Key word: Pendidikan karakter
A. Latarbelakang
Pembangunan
pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas
untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal.
Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling penting, yaitu: 1) afektif yang tercermin pada kualitas
keimanan dan ketakwaan, etika dan estetika, serta akhlak mulia dan budi pekerti
luhur; 2) kognitif yang tercermin
pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan
dan mengembangkan serta menguasai teknologi; dan 3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan
keterampilan teknis dan kecakapan praktis.
Paradigma pembangunan pendidikan nasional
menempatkan peserta didik pada kedudukan yang sangat sentral, karena pendidikan
merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara
holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling penting di atas
dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogianya menjadi
wahana strategis dalam upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga
cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Selain itu,
pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang
menjadi landasan penting untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional
untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga
negara, oleh karena itu peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang
lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai
dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu
untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
UUD 1945 mengamanatkan pentingnya pendidikan bagi
seluruh warga negara seperti tertuang di
dalam Pasal 28B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan
kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional tersebut, Kemendiknas sebagai penanggungjawab pendidikan
nasional mempunyai visi sebagai berikut ”Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”
Mewujudkan visi, misi dan
tujuan pendidikan nasional, maka tugas seorang guru, dosen, Widyaiswara dan
siapapun yang berkaitan dengan proses pembelajaran untuk menghadapi peserta
didik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab yang sangat
memerlukan perhatian besar. Sumber daya yang akan dihasilkan oleh lembaga
pendidikan tentunya tidak terlepas dari tugas seorang guru, dosen, widyaiswara
sebagai tenaga-tenaga yang exper/profesionalt
dalam mendidik, mengajar dan melatih para peserta didik untuk menjadikan
manusia-manusia yang benar-benar memiliki karakter sesuai dengan harapan
masyarakat.
Sumber daya yang dihasilkan oleh
lembaga pendidikan tersebut tentunya juga diharapkan memiliki watak atau
berkarakter yang sesuai dengan keinginan masyarakat serta dapat digunakan
sebagai kekuatan moral dalam melaksanakan kehidupannya.
Peserta didik saat diterima
di salah satu lembaga pendidikan baik di tingkat sekolah dasar, menengah
pertama, menengah atas bahkan perguruan tinggi dan pada lembaga-lembaga
pendidikan dan latihan sangat terlihat dengan jelas perbedaan karakter antara
satu dengan yang lain yang diakibatkan oleh adat istiadat seperti sopan santun,
prilaku atau etika dimana peserta didik tersebut berasal terutama dari
lingkungan keluarga, dan masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain.
Hal tersebut dapat terlihat
dari luar pribadi peserta didik seperti kualitas kepribadian yang menjadi
semacam letupan-letupan kecil seperti bara api dalam diri pribadi peserta didik
dimana pada saat-saat tertentu muncul dalam bentuk prilaku atau etika yang
sangat tidak diharapkan oleh masyarakat. Namun demikian kita selalu berfikir positif
bahwa sebenarnya apa yang ada di dalam diri pribadi peserta didik itu merupakan
kekayaan yang dimiliki dan berkualitas dibandingkan dengan apa yang terlihat
dari luar dan tergantung dari mana kita melihatnya.
Secara nyata terlihat berbagai
peristiwa yang terjadinya bagi setiap manusia
melalui kontradiksi, komplikasi, ambivalensi yang senantiasa menjadi
bagian dari pengalaman eksistensinya, termasuk ketertutupan dalam mengatasi
masalah yang dihadapi sehingga ada kemungkinan untuk terjadi ketidak sesuaian
yang menyebabkan timbulnya peristiwa-peristiwa yang merasahkan.
B. Identifikasi
dan Rumusan Masalah
- Pemahaman tentang pendidikan karakter belum merata baik bagi peserta didik maupun bagi para guru, dosen, widyaiswara dan atau bagi mereka yang berkecimpung dalam proses pembelajaran dari segi ranah kognitif, psikomotorik dan ranah afektif).
- Masih terjadinya perilaku yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh beberapa guru, dosen, atau widyaiswara
- Peserta didik belum mampu membedakan tentang etika, moral, jujur atau apa saja yang berkaitan dengan karakter
- Kerjasama antara lembaga pendidikan dengan para stekholder belum maksimal
- Terjadinya peristiwa yang menghawatirkan dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia
C. Tujuan
Sesuai dengan kegiatan
seminar ini maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang
pentingnya pendidikan karakter oleh para guru, dosen, widyaiswara, atau tenaga
pendidik lainnya yang berkaitan dengan menghasilkan sumber daya manusia yang
memiliki karakter sesuai dengan harapan masyarakat di Provinsi Lampung
D. Manfaat
- Guru, dosen, widyaiswara atau tenaga penddik lainnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran memahami tentang pentingnya pendidikan karakter
- Guru, dosen, widyaiswara atau tenaga pendidik lainnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran dapat role model tentang pendidikan karakter bagi peserta didik
- Guru, dosen, mahasiswa atau tenaga pendidik yang berkaitan dengan proses pembelajaran dapat memberikan contoh kepada peserta didik yang berkaitan dengan pndidikan karakter
E. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah
kajian pustaka yang disesuaikan dengan perkembangan pendidikan saat ini dan
hasil wawancara dan observasi peserta diklat yang mayoritas adalh guru terutama
guru ex honorer) yang mengikuti Diklat Prjabatan selama periode 2007 s.d 2010 serta melihat kejadian-kejadian yang muncul baik
secara langsung maupun melalui media massa Di Provinsi Lampung
F. Landasan Teori
- Pendidikan
Pendidikan asal kata didik atau mendidik
adalah memelihara dan memberi latihan, ajaran, tuntunan, pimpinan mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran, dan pendidikan. Menurut Hassan Shadily
(1993:263) “pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, atau dapat dikatakan sebagai proses, cara atau
perbuatan mendidik”.
Menurut Taufiq
Effendi (2005:72) pendidikan adalah “segala
usaha yang bertujuan mengembangkan sikap dan kepribadian, pengetahuan dan
ketrampilan”. Pendidikan sebagai tulang punggung kemajuan suatu negara,
menentukan tinggi rendahnya derajat dan kedudukan bangsa. Pendidikan yang efektif
melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral dan memiliki etos kerja dan
inovasi karya yang tinggi. Seluruh negara maju sungguh telah meletakkan
kebijakan pendidikan pada posisi terdepan: mendukung, mengawal dan terus
memperbaiki sistem pendidikan bagi rakyatnya.
Kenyataan sekarang ini pendidikan di tanah
air masih menghadapi tantangan dan permasalahan. Kebijakan pembiayaan
pendidikan yang masih jauh dari tuntutan Undang-Undang kemudian mengakibatkan
pada sederat permasalahan lain yang mengikutinya. Ketersediaan sarana dan
prasarana sekolah/lembaga pendidikan yang belum memadai: di mana masih banyak
gedung sekolah/lembaga pendidikan yang tidak layak. Kompetensi dan kualifikasi guru/narasumber
yang minim, ditambah pula dengan rendahnya alokasi biaya riset bagi kemajuan
pendidikan. Pembangunan pendidikan Nasional
juga belum mampu menumbuhkan budaya mendidik dan belajar dari seluruh pihak,
pendidikan sekarang ini masih bertumpu pada lingkungan institusi pendidikan (sekolah/lembaga
pendidikan dan perguru/narasumberan tinggi atau lembaga pendidikan). Sementara
komponen lain yang sesungguhnya memiliki potensi dan kesempatan yang luas dan
besar untuk ikut mendidik (seperti media televisi dan radio) malah lebih banyak
porsi tayangan yang justru ‘merusak’ tujuan dan nilai-nilai pendidikan.
Pendidikan nasional juga belum berhasil
menanamkan nilai-nilai moral yang luhur: Format pendidikan nasional tidak
berpijak pada nilai-nilai luhur agama (sekuler). Pendidikan berjalan tanpa
keterikatan dan keterpautan dengan nilai-nilai ilahiyah. Sementara itu,
pendidikan agama yang ada telah kehilangan ‘ruh’ nya baik dari sisi kurikulum
ataupun pendekatan pembelajarannya. Pendidikan berjalan tanpa ‘moral’ yang
jelas, kehilangan arah dan hakikatnya yang paling asasi yaitu pendidikan yang
‘memanusiakan manusia’.
Pendidikan Nasional dibangun di atas
landasan paradigma yang merujuk pada pemikiran filosofi modern, yang memandang
bahwa pendidikan berhubungan dengan masyarakat dalam konteks perubahan sosial,
tatanan ekonomi, politik dan negara, oleh karena pendidikan itu terjadi di
masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka
pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi
terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan.
Dilihat dari sisi lain, dalam pandangan
mikro pendidikan juga harus memperhitungkan individualistik dan individual
differences dari peserta didik seperti:
Pertama, membangun prinsip kesetaraan antara sektor
pendidikan dengan sektor-sektor lainnya. Keberadaan sistem pendidikan nasional
harus senantiasa dimaknai sebagai adanya keharusan untuk bersama-sama dengan
sistem lain mewujudkan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan bukan sesuatu yang
secara eksklusif terpisah dari sistem sosialnya. Pendidikan sebagai sistem
merupakan sistem terbuka yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya.
Kedua, prinsip pendidikan adalah wahana pemberdayaan
bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan konfigurasi
komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah/lembaga
pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap
institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan
dengan fiingsi mendidik generasi penerus bangsa. Institusi pendidikan
tradisional seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda
bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan
lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari
pendidikan nasional.
Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip
pemerataan menuntut warga negara secara individual maupun kolektif untuk
memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
Kelima, dalam kondisi masyarakat yang pluralistik diperlukan
prinsip toleransi dan konsensus. Pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa
dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan konfigurasi komponen-komponen
sumber pengaruh secara dinamik.
Keenam, prinsip perencanaan pendidikan, oleh karena
manusia dan masyarakat senantiasa berubah, mengalami perubahan yang direncanakan
maupun tidak direncanakan, baik yang dapat diterima atau yang harus ditolak,
maka pendidikan juga dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi
dan melakukan upaya yang tepat serta secara normatif sesuai dengan cita-cita
masyarakatnya. Pendidikan bersifat progresif, tidak resisten terhadap
perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu, dan pendidikan
harus mampu mengantisipasi perubahan
Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, dalam kondisi masyarakat
yang menghendaki perubahan mendasar, artinya juga perubahan berskala besar
berdasarkan gagasan besar, maka pendidikan juga harus mampu menghasilkan
produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Paham rekonstruksionis
mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi
yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi
masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan
dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi
pada peserta didik, dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta
didik yang bersifat umum maupun spesifik hams menjadi pertimbangan. Layanan
pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan untuk remaja dan dewasa.
Pendekatan pendidikan untuk anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan
dengan untuk anak-anak perkotaan. Termasuk dalam hal ini adalah perlunya
perlakuan khusus untuk kelompok ekonomi lemah, berkelainan fisik atau mental.
Kesembilan, prinsip pendidikan multikultural,
sistem pendidikan nasional harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya
bersifat plural, dan oleh karenanya pluralisme perlu menjadi acuan yang tak
kalah pentingnya dengan acuan-acuan lain. Pluralisme merupakan paham yang
menghargai perbedaan, dan akan lebih baik bila pendidikan dapat mendayagunakan
perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat positif dan
konstruktif.
Kesepuluh, pendidikan dengan prinsip global, yaitu pendidikan harus mampu berperan
dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun ada yang
perlu diingat dalam pendidikan berwawasan global ini, yaitu pada waktu
bersamaan pendidikan memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional.
Meskipun konsep tersebut diragukan
dan diganti dengan welfare state bahkan global state yang tidak
lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi
informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus
dilakukan.
Jepang tetap merupakan satu contoh
bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa. Negara kebangsaan seharusnyalah
negara yang menyesuaikan kesejahteraan
bagi warganya, dan di sinilah peran pendidikan sangatlah sentral.
Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009,
pandangan ini kemudian dijadikan pijakan yang kemudian memberi arah rencana
strategis pembangunan pendidikan nasional, setidaknya dalam kurun waktu lima
tahun (2005-2009). Pembangunan pendidikan nasional adalah suatu usaha yang
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju,
mandiri, dan modern.
Pembangunan pendidikan merupakan bagian
penting dari upaya menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan
martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan
kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara
keseluruhan. Dalam konteks demikian, pembangunan pendidikan itu mencakup
berbagai dimensi yang sangat luas: sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Perspektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang
mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat.
Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas
masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial
baru ini terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi
elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion).
Pendidikan yang melahirkan lapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan
perekat yang menautkan unit-unit sosial di dalam masyarakat: keluarga,
komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial yang kemudian menjelma
dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara, dengan demikian,
pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi
sosial.
Perspektif budaya, pendidikan juga merupakan wahana penting dan media yang
efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasi nilai, dan menanamkan etos di
kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk
memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati
diri bangsa, bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting lagi ketika arus
globalisasi demikian kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang
acapkali bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan
dalam konteks ini dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran
kolektif (collective conscience) sebagai warga bangsa dan mengukuhkan
ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras,
suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusia manusia yang handal
untuk menjadi subyek penggerak pembangunan ekonomi nasional, oleh karena itu,
pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan
bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai
keterampilan teknis yang memadai. Pendidikan juga harus dapat menghasilkan
tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi
salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan
menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan
membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki
persaingan antarbangsa di era global.
Selain itu, renstra pendidikan nasional sangat dipengaruhi oleh tuntutan
global tentang pendidikan. Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009 disusun dalam
rangka mempercepat sasaran Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights
of the Child) yang menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan
melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar
pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28) dan konvensi mengenai HAM
yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas
biaya, setidaknya pada pendidikan dasar.
Pendidikan dasar harus bersifat wajib; pendidikan teknik dan profesi harus
tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat
dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan” (Deklarasi HAM, Artikel 26). Hal
ini sejalan degan pencapaian sasaran pembangunan yang disepakati dalam Kerangka
Aksi Dakar Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA).
Mewujudkan visi pendidikan
transformatif tersebut (Insan cerdas dan kompetitif) dan Kemendiknas telah
menetapkan misinya yaitu: “Mewujudkan Pendidikan yang Mampu Membangun
Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif dengan Adil, Bermutu, dan Relevan
untuk Kebutuhan Masyarakat Global”. Tujuan Pendidikan Nasional, mengacu
pada amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, serta visi di atas, maka Kementrian Pendidikan Nasional kemudian
menetapkan Tujuan Pendidikan
Nasional dalam renstra 2005-2009, yaitu:
a. Meningkatkan iman, taqwa, dan akhlak
mulia, serta kualitas jasmani peserta didik;
b. Meningkatkan etika dan estetika, serta
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia;
c. Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar
pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara
adil, tidak diskriminatif, dan
demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis
kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta
intelektual;
d. Menuntaskan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun secara efisien, bermutu dan relevan sebagai
landasan yang kokoh bagi pengembangan kualitas manusia Indonesia dalam
pendidikan lebih lanjut;
e. Menurunkan secara signifikan jumlah
penduduk buta huruf dan memiliki berbagai kecakapan hidup;
f. Memperluas akses pendidikan non-formal
bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah/lembaga pendidikan,
tidak pernah sekolah/lembaga pendidikan, buta aksara, putus sekolah/lembaga
pendidikan dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin
meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk meningkatkan
kualitas hidup;
g. Meningkatkan daya saing bangsa dengan
menghasilkan lulusan yang mandiri, bermutu, terampil, ahli dan profesional,
mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat
membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan;
h. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan
tersedianya standar pendidikan nasional dan standar pelayanan minimal, serta
meningkatkan kualifikasi minimun dan sertifikasi bagi tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan lainnya;
i.
Meningkatkan
relevansi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan melalui
peningkatan hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan
teknologi oleh guru/narasumber serta penyebarluasan dan penerapannya pada
masyarakat;
j.
Menata
sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin efisien, produktif,
dan demokratis dalam suatu governance yang baik dan akuntabel;
k. Meningkatnya efektifitas dan efisiensi
manajemen pelayanan pendidikan melalui peningkatan pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah/lembaga pendidikan, peran serta masyarakat dalam pembangunan
pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan
termasuk otonomi keilmuan;
l.
Mempercepat
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mewujudkan Depdiknas yang
bersih dan berwibawa;
Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) merupakan pilar amat penting untuk
membangun mentalitas bangsa, kecerdasan seluruh warga dan masa depan eksistensi
suatu bangsa. Karena itu, memberlakukan sistem pendidikan nasional secara
tergesa-gesa dan serampangan bisa berakibat fatal bagi suatu bangsa.
Spirit yang tertuang dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009 yang
menetapkan visi dan misi pendidikan nasional, yaitu mewujudkan pendidikan yang
mampu membangun insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif, yang berkeadilan,
bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan global amat
sangat dipengaruhi oleh tuntutan global.
Visi dan misi pendidikan nasional tersebut
.merupakan landasan filosofi pembangunan pendidikan nasional untuk mewujudkan
cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan
kehidupan bangsa”.
Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang
menjadikan lembaga pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat
tradisional ke masyarakat maju.
Pendidikan harus terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan
gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehingga
tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan zaman. Pendidikan bertugas untuk
menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui
perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik
dan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif, dengan demikian, peserta
didik dapat belajar secara terus-menerus agar beriman dan bertakwa serta
berakhlak mulia, mampu menggali ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi,
memiliki etika dan kepribadian tangguh, dan kaya ekspresi estetika dalam
merespons perubahan dan perkembangan masyarakat dalam perspektif persaingan
global, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Pendidikan bukan hanya mengantarkan bangsa
menuju masyarakat maju yang sarat dengan pendayagunaan iptek, etika dan
kepribadian, serta estetika untuk mencapai keunggulan bangsa di era global,
tetapi juga menciptakan kemandirian baik bagi individu maupun bangsa.
Pendidikan yang menumbuhkan jiwa kemandirian menjadi sangat penting untuk
mempersiapkan peserta didik menghadapi era tantangan yang sangat kompetitif.
Selain itu, pendidikan harus mengawal perubahan bangsa menuju masyarakat madani
yakni masyarakat yang taat, hormat, dan tunduk pada hukum dan
perundangundangan.
Pendidikan yang benar seharusnya juga mampu membentuk karakter kepribadian
yang berlandaskan moral luhur (akhlak mulia), yang akan dapat membangun
kemandirian dan martabat bangsa. Pendidikan Nasional, sampai saat ini belum
secara tegas menjejakkan pembangunan pendidikannya kepada rumusan filsafat yang
menekankan kepada pembangunan karakter. Pijakan filosofis pendidikan nasional,
setidaknya yang tercermin dalam visi dan renstra pendidikan nasional, lebih
kepada pijakan filosofis yang bersifat material. Pendidikan diarahkan kepada
pembangunan kemampuan kompetensi untuk berkarya, bukan untuk membangun
bangsa.
Analisis mengenai tujuan pendidikan secara
umum sampai dengan tujuan-tujuan khusus berupa perubahan pengetahuan, sikap,
cara kerja dan lain sebagainya seperti yang dikemukakan oleh Veithzal (2007)
bahwa “mencapai tujuan yang efisien dan efektif perlu dilakukan perubahan”. Hal
ini yang sangat diperlukan oleh manusia dalam memecahkan permasalahan yang senantiasa dihadapi manusia
dalam kehidupannya di dunia ini
khususnya dalam suatu organisasi atau lembaga pendidikan khususnya. Tujuan
pendidikan adalah suatu kegiatan untuk kelangsungan hidup, usaha mencari
nafkah, pendidikan anak, pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara
serta penggunaan waktu yang senggang.
Pendidikan
sekolah/lembaga pendidikan (formal) dan pendidikan luar sekolah/lembaga
pendidikan (non formal) diposisikan dalam kerangka pendidikan sepanjang hayat
yang dipandang sebagai master concept pendidikan. Fungsi pendidikan luar
sekolah/lembaga pendidikan terhadap pendidikan sekolah/lembaga pendidikan
meliputi fungsi subtitusi, komplemen, dan suplemen, selain sebagai jembatan
pendidikan sekolah/lembaga pendidikan menuju dunia kerja dan sebagai wahana
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan.
Pendidikan luar
sekolah/lembaga pendidikan bertujuan melayani warga belajar agar berkembang
sedini mungkin dan sepanjang hayat, memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap
mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri serta memenuhi kebutuhan
belajar yang tidak disediakan oleh pendidikan sekolah/lembaga pendidikan. Beberapa
program pendidikan luar sekolah/lembaga pendidikan tersebut seperti yang
dikemukakan oleh Sutaryat dalam Rochman Natawidjaya (2007:279) adalah ‘pendidikan kecakapan hidup, anak usia dini,
kepemudaan, keaksaraan, kesetaraan pemberdayaan perempuan (jender), serta
ketrampilan dan pelatihan kerja’.
- Karakter
Karakter akar kata dari bahasa latin
kharakter, kharassein, dan kharax yang bermakna “ tolls for marking”. Kata ini
mulai digunakan pada abad 14 yang dalam bahasa Perancis caractere, dalam bahasa
inggris menjadi character, dan menjadi bahasa indonesi adalah karakter. Hassan
Shadily (1993:257 ) karakter diartikan
sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain. Berdasarkan pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa
sedemikian rupa sehingga berbentuk unik, menarik dan berbeda atau dapat
dibedakan dengan orang lain.
Karakter secara umum sering diartikan
dengan istilah temperamen dalam unsur psikososial yang dikaitkan dengan
pendidikan dan konteks lingkungan, juga dipandang dari segi prilaku atau
behavioural yang menekankan pada unsur somatopsikis yang dimiliki individu
sejak lahir. Disini karakter dianggap sama dengan kepribadian atau ciri atau
karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan
yang diterima dari lingkungan seperti lingkungan keluarga pada masa kecil, dan
juga bawaan sejak lahir.
Secara indrawi setiap manusia secara
spontan mampu membedakan antara orang yang baik dan orang yang jahat dan hal
tersebut merupakan keutamaan dari diri manusia. Di dalam masyarakat juga banyak
pertanyaan yang mengatakan bahwa mengapa dalam masyarakat ada orang-orang yang
benar-benar jahat?, mengapa ada seseorang yang begitu anti pada kehidupan,
mengapa ada orang yang menjadi pembunuh, ada orang yang culas terhadap
sesamanya, mengapa ada orang yang gemar berperang, mengapa ada orang yang suka
melecehkan martabat orang lain?. Apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut
merupakan jawaban bahwa dari pertayaan apakah orang-orang tersebut memang
memiliki sifat demikian sejak lahir.
Fr. Paulhan dalam Doni (2007:103)
mengatakan bahwa karakter adalah apa yang membuat seorang pribadi itu dirinya
sendiri, dan bukan yang lain. Spranger dalam Doni (2007:103) mengatakan bahwa
karakter adalah prilaku tipikal berbeda yang diyakini oleh pribadi berhadapan
dengan nilai-nilai estetis, ekonomis, politis, sosial, dan religius. A.
Nicefero dalam Doni (2007:103) mengatakan bahwa karakter sebagai ada aku dalam
masyarakat. Diana R dalam Doni (2007:104) mengatakan bahwa karakter merupakan
keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil
dan menjadikannya typikal dalam cara berfikir dan bertindak.
Beberapa kriteria dari karakter seperti
stabilitas pola prilaku, kesinambungan dalam waktu, koherenitas cara berfikir
dan betindak telah menarik perhatian serius para pendidik untuk meletakkan
karakter dalam kerangka proses pendidikan.
Jadi karakter merupakan sebuah kondisi
dinamis struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas
determinan kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral
mengatasi determinansi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya
secara terus menerus. Karakter sekaligus berupa hasil dan proses dalam diri
manusia yang sifatnya stabil dan dinamis untuk senantiasa berkembang maju
mengatasi kekurangan dan kelemahan dirinya.
- Pendidikan karakter
Pendidikan karakter
menurut Doni (2007:104) merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang
berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai
sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam individu. Dinamika ini
membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh.
Nurul Zuriah (2008:19) mengatakan bahwa pendidikan karakter sering disamakan
dengan budi pekerti, artinya seorang dikatakan berkarakter atau berwatak jika
orang tersebut berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki
masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Budi pekerti
dapat diartikan sebagai moralitas, adat istiadat, sopan santun, prilaku, dan
menurut Nurul Zuriah (2008:15) budi
pekerti secara hakiki sama dengan prilaku.
Pandangan Ratna Mangunwijaya (2010:2)
dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berfikir eksploratif
dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah menghapal.
Adapun siswa berfikir kritis adalah tabu sehingga siswa dididik, di drill,
dilatih, ditatar, dibentuk menjadi penurut (suasana pebelajaran salah urus) sehingga
siswa dididik dan membuat cakrawala berfikir menyempit, mengarah pada
sikap-sikap fasisme, dan bahkan menyuburkan mental penyamun, perampok,
penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Hal ini terkait dengan timbulnya
suatu ketidak wajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental
berbohong/membual, semu, berbedak, dan bertopeng yang seolah-olah semakin
meracuni kehidupan kultural bangsa seperti kemunafikan merajalela, kejujuran
dan kewajaran terkalahkan, keserasian antara yang dikatakan dengan yang
dikerjakan semakin timpang.
G.
Pembahasan
Pentingnya memahami
pendidikan karakter/soft-skill penting di golden age tentunya kita dihadapkan
pada berbagai masalah karena pendidikan karakter merupakan tambahan untuk
pengembangan diri setiap manusia. Kita pahami bahwa sejak dilahirkan setiap manusia memiliki titik berangkat yang
sama yaitu bahwa manusia itu pada dasarnya ”baik”, dan ditengah perjalanan hidupnya
terjadi penyempurnaan dalam diri seseorang
karena kemampuan menambahkan kualitas dalam hidupnya berupa keutamaan
melalui perbuatan dan tindakan. Apabila proses ini ngatif, maka jadilah ia
manusia yang defisit atau berkurangnya keutamaan sebab tindkannya cenderung
kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Sebaliknya juga jika manusia dalam
perjalanan hidupnya menambahkan sebuah keutamaan dalam dirinya dan mampu
menyempurnakan dirinya menjadi semakin lebih baik, tentunya hasil usaha ini
dapat terlihat dari prilaku dan keputusannya sesuai dengan yang diharapkan
orang banyak. Jadi setiap manusia yang berkarakter lemah setelah melalui
pendidikan karakter dapat terbentuk
kualitas tambahan yang disebut dengan kemampuan untuk berbuat baik dan
bertanggung jawab.
Output yang kita
harapkan melalui pendidikan adalah
menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang diharapkan
masyarakat seperti mampu menghidupi dirinya sendiri, keluarga dan dapat
diterima dimasyarakat. Terdapat variabel yang menentukan sebagai kekuatan lembaga
pendidikan formal agar mampu meningkatkan prestasi anak didik yaitu variabel
properti sekolah atau memurut Hoy (2001:281)
dorongan optimis sekolah yang terdiri atas 3 sub variabe yaitu 1) peningkatan
kemampuan akademis disekolah, 2) adanya usaha kesadaran kelompok bahwa usaha
mereka akan berhasil, 3) kredibilitas sekolah dimata orang tua murid yaitu
besarnya rasa percaya/kepercayaan yang diberikan oleh orang tua dan siswa agar
tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai, artinya siswa dan orang tua
memiliki kepercayaan besar bahwa dengan belajar disekolah peserta didik akan
dapat tumbuh dan prestasi akademisnya meningkatkan. Variabel tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan
peserta didik sangat ditentukan oleh salah satu variabel adalah properti
sekolah.
Berdasarkan latar belakang,
masalah, dan didukung oleh teori tersebut di atas, maka pembahasan disini lebih
menekankan kepada pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik yang
diberikan oleh para guru, dosen, widyaiswara atau tenaga pendidik lainnya yang
berkaitan dengan proses pembelajaran untuk menghasilkan SDM yang benar-benar
bekulitas.
Peristiwa yang sering
terjadi di masyarakat umum, khususnya di lembaga pendidikan yang menggambarkan karakter
baik dan buruk, yang tadinya baik menjadi buruk atau sebaliknya dari yang
tadinya buruk menjadi baik dan kembali buruk lagi atau tadinya buruk kembali
menjadi baik.
Apa yang harus kita lakukan
agar peserta didik mendapatkan
pengalaman baru sesuai dengan kehidupan
yang nyata bagi peserta didik tersebut dan peserta didik bisa belajar dan
bergaul secara langsung tentang berbagai
karakter mulia dapat kita lakukan dengan istilah 9 (sembilan pilar) seperti
yang dikemukakan oleh Ratna Megawangi (2009:30) yaitu: 1) cinta kepada Tuhan dan kebenaran; 2)
tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; 3) amanah; 4) hormat dan santun;
5) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; 6) percaya diri dan kreatif serta
pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9)
toleransi dan cinta damai. Ini Artinya pendidikan karakter mempunyai makna
lebih tinggi dari moral karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
yang salah, tetapi lebih dari iu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang
hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang
mana yang baik dan salah, ranah afektif yang mampu merasakan nilai yang baik
dan tidak baik, serta ranah psikomotor tentang kemauan melakukannya.
Bagi segenap Pemangku kepentingan
pendidikan agar dapat mengimplementasikan pendidikan karakter seperti yang
digagas pemerintah secara baik dan benar
dalam dunia pendidikan dengan: 1) memberikan bekal pendidikan karakter
kepada seluruh guru-guru yang profesional secara berkelanjutan agar para guru
dapat menyampaikan pendidikan karakter kepada peserta didik tidak kaku,
monoton, dogmatis dan indoktrinatif; 2) jadikan pendidikan karakter sebagai
salah satu pengembangan diri disekolah. Siswa perlu diberikan ruang ”mimbar
bebas” di luar jam pelajaran yang secara
khusus didesain untuk mengembleng kepribadian dan jati diri siswa agar
benar-benar menjadi sosok yang berkarakter; 3) menciptakan lingkungan yang
kondusif yang memungkinkan pendidikan karakter bisa bersemi dan mengakar dalam
dunia pendidikan kita, artinya memunculkan para elit bangsa, tokoh masyarakat
atau pemuka agama yang dapat dijadikan anutan atau kiblat sosial dalam
bersikap, bertingkahlaku dan bersinergi dengan
memberikan keteladanan nyata ditengah-tengah kehidupan masyarakat
Empat ciri dasar dalam
pendidikan karakter yaitu: 1) keteraturan interior dimana setiap tindakan
diukur berdasarkan hirarhi nilai, dimana nilai dijadikan pedoman normatif
setiap tindakan; 2) koherensi yang memberikan keberanian dan membuat seseorang
teguh pada prinsip, tidak mudah terobang-ambing pada situasi baru atau takut
pada risiko. Koherensi ini sebagai dasar yang membangun rasa percya satu sama
lain, karena ketidak koherenitas akan meruntuhkan kredibilitas seseorang; 3)
Otonomi, dimana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi
nilai-nilai bagi pribadi, dan diperoleh melalui penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan orang lain; 4) keteguhan dan
kesetiaan merupakan daya tahan seseorang
guna menginginkan apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen dirinya tentang apa yang dipilih.
Jika kita matang terhadap
keempat karater tersebut di atas maka seseorang akan mengarah dan melewati
individualitas menuju personalitas atau antara yang aku alami dan aku rohani,
antara independensi eksterior dan interior. Empat karakter inilah yang menentukan seorang
pribadi dalam segala tindakannya.
Orang yang memiliki karakter
yang kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang
telah ada begitu saja (sudah ada dari sononya), dan mereka yang memiliki karakter
yang lemah adalah mereka yang selalu tunduk kepada sekumpulan kondisi yang
telah ada padanya (dari sononya) tanpa dapat menguasainya, artinya mereka
pasrah pada keadaan apa adanya dan pada tingkatan ekstrimnya bisa jatuh dalam
fatalismenya, dan orang seperti ini selalu berkata ” karakter saya memang
demikian..... mau apa lagi”, itulah takdir dan keberuntungan hidup saya, dan
hal ini kontra-produktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan
intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin membentuk dirinya
berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Sejumlah karakter yang
menjadi pilar bagi seseorang adalah dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian,
tanggung jawab, jujur, peduli, kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun dan
integritas. Sedangkan karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban
tingkat tinggi yaitu masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri,
bekerjasama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos
kerja yang tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan
baik. Jika sejumlah karakter bangsa ini tidak terpenuhi maka timbul berbagai
perasalahan sosial seperti ketidakteraturan sosial yang menghasilkan berbagai
bentuk kriminal, kekerasan, terorisme dan sebagainya. Untuk itu pendidikan
harus terus didorong mengembangkan karakter bangsa untuk menjadi bangsa yang kuat sehingga pada
gilirannya bangsa indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan
modern. Peradaban modern akan terbangun
dengan 4 (empat) pilar yaitu induk budaya agama yang kuat, sistem pendidikan
yang maju, sistem ekonomi yang berkeadilan serta majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang humanis.
Intinya bentuk karakter apapun
yang dapat dirumuskan tetapi harus berlandaskan pada nilai-nilai universal,
oleh karena itu pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan
yang bisa membantu mengembangkan sikap
etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang kepada peserta didik
dengan mengajarkan dan menunjukkan karakter yang bagus. Hal ini dilakukan untuk
mengisi pola pikir anak didik yaitu niai-nilai etika seperti menghargai diri
sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas dan disiplin diri.
Ini semua merupakan solusi dan concern jangka panjang yang mengarah pada
isu-isu moral, etika dan akademis dalam dunia pendidikan.
Kita mengetahui bahwa dalam
proses pembelajaran yang berkaitan
dengan pendidikan karakter dilihat dari tahap perkembangan prilaku seseorang
yang dipengaruhi oleh 1) faktor internal seperti instink biologis (lapar mendorong
untuk makan dll); kebutuhan psikologis seperti rasa aman, ingin penghargaan,
ingin diterima dll; kebutuhan pemikiran seperti cara berfikir yang ada kaitannya
dengan objek yang dipikirkan; 2) faktor
eksternal seperti lingkungan keluarga, lingkunan sosial, dan lingkungan
pendidikan.
Sebagai seorang pendidik di
dalam pendidikan karakter, tentunya juga harus memahami tentang perkembangan prilaku
seseorang yaitu:
1.
Tahap
I (0 - 10 tahun) lebih kepada prilaku lahiriah, metode pengembangannya adalah
pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan
(hukuman) dan indoktrinasi.
2.
Tahap
II (11 – 15 tahun) lebih kepada prilaku kesadaran, metode pengembangannya
adalah penanaman nilai melalui dialog, bimbingan dan pelibatan.
3.
Tahap
III (15 tahun ke atas), lebih kepada kontrol internal atas prilaku dimana
metode pengembangannya adalah perumusan visi dan misi hidup, dan penguatan
tanggung jawab kepada Allah
Terdapat tiga langkah
merubah karakter pada ranah kognitif, mental dan fisik yaitu:
1.
Terapi
kognitif, cara yang efektif untuk memperbaiki karakter dan mengembangkannya
adalah dengan memperbaiki cara berfikir dengan langkah sbb:
a. pengosongan à berarti pengosongan benak kita dari berbagai
bentuk pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari segi agama
maupun akal yang lurus.
b. Pengisian à berarti mengisi kembali benak kita dengan
nilai-nilai baru dari sumber keagamaan kita yang membentuk kesadaran baru,
logika baru, dan lensa baru dalam cara memandang berbagai msalah
c. Kontrol berarti kita harus mengontrol
pikiran-pikiran baru yang melintas dalam benak kita sebelum berkembang menjadi
gagasan utuh
d. Do’a berarti bahwa kita mengharapkan unsur
pencerahan Ilahi dalam cara berfikir kita
2.
Terapi
mental, Warna perasan kita adalah cermin bagi tindakan kita, tindakan yang
harmonis akan mengukir lahir dari warna perasaan yang kuat dan harmonis,
langkahnya sbb:
a. Pengarahan à perasaan-perasaan kita harus diberi arah yang
jelas, yaitu arah yang akan menentukan motifnya. Setiap perasaan harus
mempunyai alasan lahir yang jelas, dan itu hanya bisa terjadi jika perasaan
dikaitkan secara kuat dengan pemikiran kita.
b. Penguatan à kita harus menemukan sejumlah sumber tertentu
yang akan menguatkan perasaan itu dalam jiwa kita. Ini secara langsung terkait
dengan unsur keyakinan kemauan dan tekat dalam memenuhi jiwa sebelum kita melakukan suatu tindakan
c. Kontrol à kita harus memunculkan kekuatan tertentu dalam
diri yang berfungsi mengendalikan semua warna perasaan diri kita
d. Doa à mengharapkan adanya dorongan Ilahi yang
berfungsi membantu semua proses pengarahan, penguatan, dan pengendalian bagi
mental kita
3.
Perbaikan
fisik, Akhli kesehatan mengatakan bahwa dasar kesehatan itu tercipta melalui 3
unsur yaitu:
a. Gizi makanan yang baik dan mencukupi
kebutuhan
b. Olahraga yang teratur dalam kadar yang
cukup
c. Istirahat yang cukup dan memenuhi
kebutuhan relaksasi tubuh.
Berbagai hal harus dipahami
oleh seorang pendidik dalam melakukan pendidikan karakter dan keberhasilannya
dapat dilihat dari kualitas kinerja guru, dosen, widyaiswara atau tenaga
pendidik lainnya. Menurut Bovie (2010:276) kualitas kinerja pendidik akan baik jika dilakukan sesuai
dengan kompetensi yang dimiliki yaitu kompetensi intelektual, kompetensi
personal atau individu/pribadi, dan kompetensi sosial (lampiran 1).
Kompetensi intelektual yang
harus dipahami oleh pendidik adalah memiliki keahlian profesional, kemampuan
mencari informasi, mampu berfikir analitis, juga harus berdasarkan konseptual
serta mampu berkomunikasi. Kompetensi intelektual pendidik juga belum bisa
menjamin jika tiak diikuti oleh kompetensi personal yang meliputi percaya diri,
berorientasi pada prestasi, berinisyatif, berorientasi pada mutu atau kualitas,
mampu mengendalikan diri, komitmen apada organisasi, dan fleksibilitas.
Kompetensi intelektuan dan
kompetensi pribadi juga belum lengkap jika tidak dikuatkan dengan kompetensi
sosial. Kompetensi sosial bagi pendidik adalah mampu mengarahkan peserta didik,
berorientasi pada pelanggan, sadar untuk mau mengembangkan orang lain,
bekerjasama secara tim untuk mencapai tujuan, dan mampu membangun hubungan kerja
antara pendidik, stakeholder dan peserta didik.
H. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Kesimpulan
a. Setiap manusia dilahirkan berkarakter
lemah dan diperlukan pengarahan, pembiasaan, penguatan serta pelemahan karena pada tahap ini lebih kepada prilaku
lahiriah, demikian pula pada tahap-tahap selanjutnya.
b. Guru berkarakter dan memiliki keutamaan
merupakan role model serta cerminan peserta didik yang berkarakter dan juga
memiliki keutamaan, karena peserta didik dilahirkan sama seperti kita saat
dilahirkan dengan potensi jasad, akal dan mental rohani yang siap menerima
bentukan lingkungan.
c. Pendidikan karakter melalui penanaman
nilai-nilai budaya karakter yang kita harapkan tentunya juga harus melihat
tahapan perkembangan perilaku dari objek yang kita hadapi
d. Kualitas kinerja pendidik dalam pendidikan
karakter kepada peserta didik harus dilakukan sesuai dengan kompetensi
yang meliputi kompetensi (intelektual,
pribadi dan sosial);
e. Proses internalisasi terjadi saat
seseorang mencapai perkembangan prilaku pada tahap ketiga yaitu mulai pada umur 15 tahun ke atas.
2. Rekomendasi
a. Keberhasilan peserta didik yang memiliki
karakter dengan keutamaannya sebagai SDM yang berkualitas, prosesnya cukup panjang
dan dimulai pada tahap I s/d III sehingga
proses internalisasi terjadi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
benar-benar dilakukan bukan melalui pendidikan dengan tambahan mata pelajaran,
tetapi dilakukan melalui tranfer dalam bentuk role model dari pendidik sesuai
dengan kompetensinya dengan penanaman nilai-nilai budaya karakter yang
diharapkan.
b. Pemerintah daerah melalui lembaga terkait
diharuskan mengintensifkan para tenaga pendidik untuk terus menerus menanamkan
karakter dengan keutamaannya kepada peserta didik
c. Melakukan atau mengadakan pelatihan teknis
bagi tenaga fungsional (tenaga pendidik) dalam kaitannya dengan pendidikan
karakter melalui Dadan Diklat Daerah Provinsi Lampung
I. Daftar Pustaka
Ade
Jaenudin http://www.goodreads.com/story/show/14092. Membangun_Karakter
3 April 2008 [5 Januari 2011, 13:35]
3 April 2008 [5 Januari 2011, 13:35]
Bambang
Nurokhim
http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/200/Default.aspx, 5 September 2007 [5 januari 2011, 12:20]
http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/200/Default.aspx, 5 September 2007 [5 januari 2011, 12:20]
Bovie
Kawulusan, 2010., Strategi Pengembangan Manajemen Pendidikan dan Latihan.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Doni Koesoema A. 2007.,
Pendidikan Krakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global). Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia (Grasindo).
Hassan Shadily, 1993.,
Ensiklopedi Umum (Edisi ke dua cetakan ke sepuluh), Yogyakarta: Kanisius
http://pustaka-ebook.com/membentuk-karakter-cara-islam/25
Mei 2009 [6 Januari 2010, 11:15]
http://www.almuslim.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=1%20&PHPSESSID=27ccadc054d07dec28540b4f25bf071e25
Mei 2009
http://wiek.files.wordpress.com/2008/11/teach.jpg [6 [Januari 2010, 10:21]
http://wiek.files.wordpress.com/2008/11/teach.jpg [6 [Januari 2010, 10:21]
Hurlock,
Elizabeth B. 2004., Psikologi Perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan) Edisi ke lima, Jakarta:Erlangga
Nurul Zuriah. 2008., Pendidikan Moral dan Budi Pekerti
dalam Perspektif Perubahan. Malang: Bumi Aksara
Taufiq Effendi. (2005).
Permenpan No, PER/66/M.PAN/2005 Tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan
Angka Kreditnya, Jakarta:Menpan.
Undang-Undang Dasar 1945
Veithzal Rivai. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan
Lampiran 3:
Isu-isu penting /Trend issue/Issu aktual
- Siswa yang kurang respek dengan guru
- mahasiswa cerdas yang membunuh dosen pembimbing
- mahasiswa yang bunuh diri (labil)
- mahasiswa berhasil dan kembali kedesa membangun desanya dimana tempat asalnya
- hubungan seks pra nikah bagi remaja yang masih di lingkup pendidikan
Beberapa Istilah:
•
Nilai/value kaitannya dengan karakter à isi dari kehidupan manusia. Nilai-nilai kehidupan tsb seperti kejujuran,
kesetiaan, kepantasan, indah, baik, benar dll. Jadi eksistensi
atau keberadaan manusiawi diisi oleh nilai-nilai yang dituntun oleh pengertian
tentang nilai itu sendiri, sedangkan kesadaran tentang nilai menjaga dan
memelihara supaya eksistensi manusiawi itu tetap ada pada tingkat kemanusiaan.
Ini menunjukkan bahwa hati nurani adalah penjumlahan dari pengertian tentang
nilai dalam pribadi manusiawi, sedangkan pribadi adalah kenilaian yang
tertinggi (Hassan Shadily, 1973:749)
•
Keutamaan
diri manusia à mampu membedakan
•
Mental à kesehatan jiwa (Hassan Shadily, 1973:687)
•
Hedonism à maunya enak,
•
Pragmatism
à maunya mudah
•
Materialism
à penuh kemewahan
•
Liberalism
à serba bebas
Beberapa Istilah dalam Psikologi
Perkembangan (Hurlock, 2004)
•
Masa
perkembangan Pasca natal, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa (masa ewasa dini 18-40 thn, dewasa
madya 40-60 tahun, dwasa lanjut >60 tahun
•
Pasca
natal- kelahiran bayi yg ditandai dgn keadaan tdk berdaya
•
Bayi à 2 tahun prtama stelah bayi baru lahir 2 minggu
(anak kecil yg beru belajar berjalan) (2004:76)
•
kanak-kanak,
umur 6 thn s.d individu menjadi matang secara seksual yi 13 tahun. (2004:108)
•
remaja,
13 thn s.d 16 tahun (singkat) (2004:206)
•
dewasa
(masa ewasa dini 18-40 thn, dewasa madya 40-60 tahun, dwasa lanjut >60 tahun
(2004:246)
•
Thomas
dalam Hurlock (2004:64) pentingnya hubungan timbal balik antara matangnya
sifat-sifat turunan dan pengalaman dalam perkembangan kepribadian. Jadi “kalau
kedua efek itu selaras, dapat diharapkan perkembangan anak yang sehat, tetapi
kalau tidak serasi maka hampir selalu dapat dipastikan timbulnya perilaku yang
mengundang masalah.
•
Seperti
halnya sifat fisik dan mental, kepribadian merupakan hasil dari pematangan
sifat turunan
•
Pubertas/puber
à kedewasaan
yaitu perubahan fisik dari perubahan prilaku terjadi pada saat individu
secara sex menjadi matang (Hurlock 2004:206)
terimakasih pak doctor atas pencerahannya
ReplyDelete