Thursday 14 January 2016

PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PENDIDIK DI PROVINSI LAMPUNG



(Oleh: Dr. Bovie Kawulusan., M.Si)

Abstrak

Tiga hal penting sebagai dimensi ranah pendidikan bagi setiap manusia adalah kognitif, psikomotor dan afektif yang terlihat dari kapasitas setiap manusia. Sumber daya yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diharapkan oleh masyarakat tentunya juga memiliki watak atau berkarakter yang juga sesuai dengan keinginan masyarakat serta dapat digunakan sebagai kekuatan moral dalam melaksanakan kehidupannya.
Peserta didik saat diterima di salah satu lembaga pendidikan baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas bahkan perguruan tinggi dan pada lembaga-lembaga pendidikan dan latihan sangat terlihat dengan jelas perbedaan karakter antara satu dengan yang lain yang diakibatkan oleh adat istiadat seperti sopan santun, prilaku atau etika dimana peserta didik tersebut berasal, terutama dari lingkungan keluarga, dan masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain.
Secara nyata terlihat berbagai peristiwa yang terjadinya bagi setiap manusia  melalui kontradiksi, komplikasi, ambivalensi yang senantiasa menjadi bagian dari pengalaman eksistensinya, termasuk ketertutupan dalam mengatasi masalah yang dihadapi sehingga ada kemungkinan untuk terjadi ketidak sesuaian yang menyebabkan timbulnya peristiwa-peristiwa yang merasahkan.
Hal tersebut terjadi disebabkan karena 1) pemahaman tentang pendidikan karakter belum merata baik bagi peserta didik maupun bagi para guru, dosen, widyaiswara dan atau bagi mereka yang berkecimpung dalam proses pembelajaran terutama dari ranah kognitif, psikomotorik dan  afektif); 2) masih terjadinya perilaku yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh beberapa guru, dosen, atau widyaiswara; 3) peserta didik belum mampu membedakan tentang etika, moral, jujur atau yang berkaitan dengan karakter; 4) kerjasama antara lembaga pendidikan dengan para stekholder belum maksimal; 5) terjadinya peristiwa yang menghawatirkan dalam dunia pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia.
Sebagai seorang pendidik, di dalam pendidikan karakter tentunya juga harus memahami tentang perkembangan prilaku peserta didik yaitu: 1) pada tahap I (0 - 10 tahun), Tahap II (11 – 15 tahun) dan Tahap III (15 tahun ke atas); 2) guru berkarakter dan memiliki keutamaan merupakan role model dan cerminan peserta didik yang berkarakter dan memiliki keutamaan, karena peserta didik dilahirkan sama seperti kita saat dilahirkan dengan potensi jasad, akal dan mental rohani yang siap menerima pengaruh lingkungan; 3) setiap manusia dilahirkan berkarakter lemah dan diperlukan pengarahan, pembiasaan, penguatan dan pelemahan  karena pada tahap ini lebih kepada prilaku lahiriah, demikian pula pada tahap-tahap selanjutnya; 4) pendidikan karakter yang kita harapkan tentunya juga harus melihat pada tahapan perkembangan perilaku dari objek yang kita hadapi; 5) Kualitas kinerja pendidik dalam pendidikan karakter kepada peserta didik harus dilakukan sesuai dengan kompetensi yang meliputi kompetensi (intelektual, pribadi dan sosial); 6) proses internalisasi terjadi saat seseorang mencapai perkembangan prilaku pada tahap ketiga  yaitu mulai pada umur 15 tahun ke atas.

Key word: Pendidikan karakter



A.  Latarbelakang

Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling penting, yaitu: 1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan dan ketakwaan, etika dan estetika, serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; 2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; dan 3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis dan kecakapan praktis.
Paradigma pembangunan pendidikan nasional menempatkan peserta didik pada kedudukan yang sangat sentral, karena pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling penting di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogianya menjadi wahana strategis dalam upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara, oleh karena itu peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
UUD 1945 mengamanatkan pentingnya pendidikan bagi seluruh  warga negara seperti tertuang di dalam Pasal 28B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, Kemendiknas sebagai penanggungjawab pendidikan nasional mempunyai visi sebagai berikut ”Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”
Mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan nasional, maka tugas seorang guru, dosen, Widyaiswara dan siapapun yang berkaitan dengan proses pembelajaran untuk menghadapi peserta didik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab yang sangat memerlukan perhatian besar. Sumber daya yang akan dihasilkan oleh lembaga pendidikan tentunya tidak terlepas dari tugas seorang guru, dosen, widyaiswara sebagai tenaga-tenaga yang exper/profesionalt dalam mendidik, mengajar dan melatih para peserta didik untuk menjadikan manusia-manusia yang benar-benar memiliki karakter sesuai dengan harapan masyarakat.
Sumber daya yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut tentunya juga diharapkan memiliki watak atau berkarakter yang sesuai dengan keinginan masyarakat serta dapat digunakan sebagai kekuatan moral dalam melaksanakan kehidupannya.

Peserta didik saat diterima di salah satu lembaga pendidikan baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas bahkan perguruan tinggi dan pada lembaga-lembaga pendidikan dan latihan sangat terlihat dengan jelas perbedaan karakter antara satu dengan yang lain yang diakibatkan oleh adat istiadat seperti sopan santun, prilaku atau etika dimana peserta didik tersebut berasal terutama dari lingkungan keluarga, dan masyarakat yang berbeda satu dengan yang lain.
Hal tersebut dapat terlihat dari luar pribadi peserta didik seperti kualitas kepribadian yang menjadi semacam letupan-letupan kecil seperti bara api dalam diri pribadi peserta didik dimana pada saat-saat tertentu muncul dalam bentuk prilaku atau etika yang sangat tidak diharapkan oleh masyarakat. Namun demikian kita selalu berfikir positif bahwa sebenarnya apa yang ada di dalam diri pribadi peserta didik itu merupakan kekayaan yang dimiliki dan berkualitas dibandingkan dengan apa yang terlihat dari luar dan tergantung dari mana kita melihatnya.
Secara nyata terlihat berbagai peristiwa yang terjadinya bagi setiap manusia  melalui kontradiksi, komplikasi, ambivalensi yang senantiasa menjadi bagian dari pengalaman eksistensinya, termasuk ketertutupan dalam mengatasi masalah yang dihadapi sehingga ada kemungkinan untuk terjadi ketidak sesuaian yang menyebabkan timbulnya peristiwa-peristiwa yang merasahkan.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
  1. Pemahaman tentang pendidikan karakter belum merata baik bagi peserta didik maupun bagi para guru, dosen, widyaiswara dan atau bagi mereka yang berkecimpung dalam proses pembelajaran dari segi ranah kognitif, psikomotorik dan ranah afektif).
  2. Masih terjadinya perilaku yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh beberapa guru, dosen, atau widyaiswara
  3. Peserta didik belum mampu membedakan tentang etika, moral, jujur atau apa saja yang berkaitan dengan karakter
  4. Kerjasama antara lembaga pendidikan dengan para stekholder belum maksimal
  5. Terjadinya peristiwa yang menghawatirkan dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan martabat manusia

C.  Tujuan
Sesuai dengan kegiatan seminar ini maka tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang pentingnya pendidikan karakter oleh para guru, dosen, widyaiswara, atau tenaga pendidik lainnya yang berkaitan dengan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki karakter sesuai dengan harapan masyarakat di Provinsi Lampung

D.    Manfaat
  1. Guru, dosen, widyaiswara atau tenaga penddik lainnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran memahami tentang pentingnya pendidikan karakter
  2. Guru, dosen, widyaiswara atau tenaga pendidik lainnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran dapat role model tentang pendidikan karakter bagi peserta didik
  3. Guru, dosen, mahasiswa atau tenaga pendidik yang berkaitan dengan proses pembelajaran dapat memberikan contoh kepada peserta didik  yang berkaitan dengan pndidikan karakter

E.     Metodologi
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah kajian pustaka yang disesuaikan dengan perkembangan pendidikan saat ini dan hasil wawancara dan observasi peserta diklat yang mayoritas adalh guru terutama guru ex honorer) yang mengikuti Diklat Prjabatan selama periode 2007 s.d 2010  serta  melihat kejadian-kejadian yang muncul baik secara langsung maupun melalui media massa Di Provinsi Lampung

F.      Landasan Teori
  1. Pendidikan
Pendidikan asal kata didik atau mendidik adalah memelihara dan memberi latihan, ajaran, tuntunan, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan  pikiran, dan pendidikan. Menurut Hassan Shadily (1993:263) “pendidikan  adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, atau dapat dikatakan sebagai proses, cara atau perbuatan mendidik”.
Menurut Taufiq Effendi (2005:72) pendidikan adalah “segala usaha yang bertujuan mengembangkan sikap dan kepribadian, pengetahuan dan ketrampilan”. Pendidikan sebagai tulang punggung kemajuan suatu negara, menentukan tinggi rendahnya derajat dan kedudukan bangsa. Pendidikan yang efektif melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral dan memiliki etos kerja dan inovasi karya yang tinggi. Seluruh negara maju sungguh telah meletakkan kebijakan pendidikan pada posisi terdepan: mendukung, mengawal dan terus memperbaiki sistem pendidikan bagi rakyatnya.
Kenyataan sekarang ini pendidikan di tanah air masih menghadapi tantangan dan permasalahan. Kebijakan pembiayaan pendidikan yang masih jauh dari tuntutan Undang-Undang kemudian mengakibatkan pada sederat permasalahan lain yang mengikutinya. Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah/lembaga pendidikan yang belum memadai: di mana masih banyak gedung sekolah/lembaga pendidikan yang tidak layak. Kompetensi dan kualifikasi guru/narasumber yang minim, ditambah pula dengan rendahnya alokasi biaya riset bagi kemajuan pendidikan. Pembangunan pendidikan Nasional juga belum mampu menumbuhkan budaya mendidik dan belajar dari seluruh pihak, pendidikan sekarang ini masih bertumpu pada lingkungan institusi pendidikan (sekolah/lembaga pendidikan dan perguru/narasumberan tinggi atau lembaga pendidikan). Sementara komponen lain yang sesungguhnya memiliki potensi dan kesempatan yang luas dan besar untuk ikut mendidik (seperti media televisi dan radio) malah lebih banyak porsi tayangan yang justru ‘merusak’ tujuan dan nilai-nilai pendidikan.
Pendidikan nasional juga belum berhasil menanamkan nilai-nilai moral yang luhur: Format pendidikan nasional tidak berpijak pada nilai-nilai luhur agama (sekuler). Pendidikan berjalan tanpa keterikatan dan keterpautan dengan nilai-nilai ilahiyah. Sementara itu, pendidikan agama yang ada telah kehilangan ‘ruh’ nya baik dari sisi kurikulum ataupun pendekatan pembelajarannya. Pendidikan berjalan tanpa ‘moral’ yang jelas, kehilangan arah dan hakikatnya yang paling asasi yaitu pendidikan yang ‘memanusiakan manusia’.
Pendidikan Nasional dibangun di atas landasan paradigma yang merujuk pada pemikiran filosofi modern, yang memandang bahwa pendidikan berhubungan dengan masyarakat dalam konteks perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara, oleh karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan.
Dilihat dari sisi lain, dalam pandangan mikro pendidikan juga harus memperhitungkan individualistik dan individual differences dari peserta didik seperti:
Pertama, membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan sektor-sektor lainnya. Keberadaan sistem pendidikan nasional harus senantiasa dimaknai sebagai adanya keharusan untuk bersama-sama dengan sistem lain mewujudkan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan bukan sesuatu yang secara eksklusif terpisah dari sistem sosialnya. Pendidikan sebagai sistem merupakan sistem terbuka yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya.
Kedua, prinsip pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan konfigurasi komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah/lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
Ketiga, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fiingsi mendidik generasi penerus bangsa. Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan dan prinsip pemerataan menuntut warga negara secara individual maupun kolektif untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
Kelima, dalam kondisi masyarakat yang pluralistik diperlukan prinsip toleransi dan konsensus. Pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan konfigurasi komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik.
Keenam, prinsip perencanaan pendidikan, oleh karena manusia dan masya­rakat senantiasa berubah, mengalami perubahan yang direncanakan maupun tidak direncanakan, baik yang dapat diterima atau yang harus ditolak, maka pendidikan juga dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat serta secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan bersifat progresif, tidak resisten terhadap perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu, dan pendidikan harus mampu mengantisipasi perubahan
Ketujuh, prinsip rekonstruksionis, dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar, artinya juga perubahan berskala besar berdasarkan gagasan besar, maka pendidikan juga harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pemecahan masalah bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang.
Kedelapan, prinsip pendidikan berorientasi pada peserta didik, dalam memberikan pelayanan pendidikan, sifat-sifat peserta didik yang bersifat umum maupun spesifik hams menjadi pertimbangan. Layanan pendidikan untuk kelompok usia anak berbeda dengan untuk remaja dan dewasa. Pendekatan pendidikan untuk anak-anak di daerah terpencil tidak dapat disamakan dengan untuk anak-anak perkotaan. Termasuk dalam hal ini adalah perlunya perlakuan khusus untuk kelompok ekonomi lemah, berkelainan fisik atau mental.
Kesembilan, prinsip pendidikan multikultural, sistem pendidikan nasional harus memahami bahwa masyarakat yang dilayaninya bersifat plural, dan oleh karenanya pluralisme perlu menjadi acuan yang tak kalah pentingnya dengan acuan-acuan lain. Pluralisme merupakan paham yang menghargai perbedaan, dan akan lebih baik bila pendidikan dapat mendayagunakan perbedaan tersebut sebagai sumber dinamika yang bersifat positif dan konstruktif.
Kesepuluh,  pendidikan dengan prinsip global, yaitu pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun ada yang perlu diingat dalam pendidikan berwawasan global ini, yaitu pada waktu bersamaan pendidikan memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Meskipun konsep tersebut diragukan dan diganti dengan welfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan.
Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa. Negara kebangsaan seharusnyalah negara yang menyesuaikan kesejahteraan bagi warganya, dan di sinilah peran pendi­dikan sangatlah sentral.
Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009, pandangan ini kemudian dijadikan pijakan yang kemudian memberi arah rencana strategis pembangunan pendidikan nasional, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun (2005-2009). Pembangunan pendidikan nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan modern.
Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam konteks demikian, pembangunan pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat luas: sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Perspektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat. Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru ini terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan yang melahirkan lapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit-unit sosial di dalam masyarakat: keluarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara, dengan demikian, pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi sosial.
Perspektif budaya, pendidikan juga merupakan wahana penting dan media yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasi nilai, dan menanamkan etos di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati diri bangsa, bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting lagi ketika arus globalisasi demikian kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan dalam konteks ini dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai warga bangsa dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusia manusia yang handal untuk menjadi subyek penggerak pembangunan ekonomi nasional, oleh karena itu, pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis yang memadai. Pendidikan juga harus dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antarbangsa di era global.
Selain itu, renstra pendidikan nasional sangat dipengaruhi oleh tuntutan global tentang pendidikan. Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009 disusun dalam rangka mempercepat sasaran Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) yang menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28) dan konvensi mengenai HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar.
Pendidikan dasar harus bersifat wajib; pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan” (Deklarasi HAM, Artikel 26). Hal ini sejalan degan pencapaian sasaran pembangunan yang disepakati dalam Kerangka Aksi Dakar Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA).
Mewujudkan visi pendidikan transformatif tersebut (Insan cerdas dan kompetitif) dan Kemendiknas telah menetapkan misinya yaitu: “Mewujudkan Pendidikan yang Mampu Membangun Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif dengan Adil, Bermutu, dan Relevan untuk Kebutuhan Masyarakat Global”. Tujuan Pendidikan Nasional, mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta visi di atas, maka Kementrian Pendidikan Nasional kemudian menetapkan Tujuan Pendidikan Nasional dalam renstra 2005-2009, yaitu:
a.       Meningkatkan iman, taqwa, dan akhlak mulia, serta kualitas jasmani peserta didik;
b.      Meningkatkan etika dan estetika, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia;
c.       Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil,  tidak diskriminatif, dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual;
d.      Menuntaskan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun secara efisien, bermutu dan relevan sebagai landasan yang kokoh bagi pengembangan kualitas manusia Indonesia dalam pendidikan lebih lanjut;
e.       Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta huruf dan memiliki berbagai kecakapan hidup;
f.       Memperluas akses pendidikan non-formal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah/lembaga pendidikan, tidak pernah sekolah/lembaga pendidikan, buta aksara, putus sekolah/lembaga pendidikan dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup;
g.      Meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang mandiri, bermutu, terampil, ahli dan profesional, mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan;
h.      Meningkatkan kualitas pendidikan dengan tersedianya standar pendidikan nasional dan standar pelayanan minimal, serta meningkatkan kualifikasi minimun dan sertifikasi bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya;
i.        Meningkatkan relevansi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan melalui peningkatan hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh guru/narasumber serta penyebarluasan dan penerapannya pada masyarakat;
j.        Menata sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin efisien, produktif, dan demokratis dalam suatu governance yang baik dan akuntabel;
k.      Meningkatnya efektifitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan melalui peningkatan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah/lembaga pendidikan, peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan;
l.        Mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mewujudkan Depdiknas yang bersih dan berwibawa;
Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) merupakan pilar amat penting untuk membangun mentalitas bangsa, kecerdasan seluruh warga dan masa depan eksistensi suatu bangsa. Karena itu, memberlakukan sistem pendidikan nasional secara tergesa-gesa dan serampangan bisa berakibat fatal bagi suatu bangsa.
Spirit yang tertuang dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009 yang menetapkan visi dan misi pendidikan nasional, yaitu mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif, yang berkeadilan, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan global amat sangat  dipengaruhi oleh tuntutan global.
Visi dan misi pendidikan nasional tersebut .merupakan landasan filosofi pembangunan pendidikan nasional untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat maju.
Pendidikan harus terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan zaman. Pendidikan bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif, dengan demikian, peserta didik dapat belajar secara terus-menerus agar beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia, mampu menggali ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, memiliki etika dan kepribadian tangguh, dan kaya ekspresi estetika dalam merespons perubahan dan perkembangan masyarakat dalam perspektif persaingan global, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Pendidikan bukan hanya mengantarkan bangsa menuju masyarakat maju yang sarat dengan pendayagunaan iptek, etika dan kepribadian, serta estetika untuk mencapai keunggulan bangsa di era global, tetapi juga menciptakan kemandirian baik bagi individu maupun bangsa. Pendidikan yang menumbuhkan jiwa kemandirian menjadi sangat penting untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi era tantangan yang sangat kompetitif. Selain itu, pendidikan harus mengawal perubahan bangsa menuju masyarakat madani yakni masyarakat yang taat, hormat, dan tunduk pada hukum dan perundangundangan.
Pendidikan yang benar seharusnya juga mampu membentuk karakter kepribadian yang berlandaskan moral luhur (akhlak mulia), yang akan dapat membangun kemandirian dan martabat bangsa. Pendidikan Nasional, sampai saat ini belum secara tegas menjejakkan pembangunan pendidikannya kepada rumusan filsafat yang menekankan kepada pembangunan karakter. Pijakan filosofis pendidikan nasional, setidaknya yang tercermin dalam visi dan renstra pendidikan nasional, lebih kepada pijakan filosofis yang bersifat material. Pendidikan diarahkan kepada pembangunan kemampuan kompetensi untuk berkarya, bukan untuk membangun bangsa. 
Analisis mengenai tujuan pendidikan secara umum sampai dengan tujuan-tujuan khusus berupa perubahan pengetahuan, sikap, cara kerja dan lain sebagainya seperti yang dikemukakan oleh Veithzal (2007) bahwa “mencapai tujuan yang efisien dan efektif perlu dilakukan perubahan”. Hal ini yang sangat diperlukan oleh manusia dalam memecahkan  permasalahan yang senantiasa dihadapi manusia dalam  kehidupannya di dunia ini khususnya dalam suatu organisasi atau lembaga pendidikan khususnya. Tujuan pendidikan adalah suatu kegiatan untuk kelangsungan hidup, usaha mencari nafkah, pendidikan anak, pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara serta penggunaan waktu yang senggang.
Pendidikan sekolah/lembaga pendidikan (formal) dan pendidikan luar sekolah/lembaga pendidikan (non formal) diposisikan dalam kerangka pendidikan sepanjang hayat yang dipandang sebagai master concept pendidikan. Fungsi pendidikan luar sekolah/lembaga pendidikan terhadap pendidikan sekolah/lembaga pendidikan meliputi fungsi subtitusi, komplemen, dan suplemen, selain sebagai jembatan pendidikan sekolah/lembaga pendidikan menuju dunia kerja dan sebagai wahana untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan.
Pendidikan luar sekolah/lembaga pendidikan bertujuan melayani warga belajar agar berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat, memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri serta memenuhi kebutuhan belajar yang tidak disediakan oleh pendidikan sekolah/lembaga pendidikan. Beberapa program pendidikan luar sekolah/lembaga pendidikan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Sutaryat dalam Rochman Natawidjaya (2007:279) adalah ‘pendidikan kecakapan hidup, anak usia dini, kepemudaan, keaksaraan, kesetaraan pemberdayaan perempuan (jender), serta ketrampilan dan pelatihan kerja’.

  1. Karakter
Karakter akar kata dari bahasa latin kharakter, kharassein, dan kharax yang bermakna “ tolls for marking”. Kata ini mulai digunakan pada abad 14 yang dalam bahasa Perancis caractere, dalam bahasa inggris menjadi character, dan menjadi bahasa indonesi adalah karakter. Hassan Shadily  (1993:257 ) karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa sehingga berbentuk unik, menarik dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.
Karakter secara umum sering diartikan dengan istilah temperamen dalam unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan, juga dipandang dari segi prilaku atau behavioural yang menekankan pada unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Disini karakter dianggap sama dengan kepribadian atau ciri atau karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan seperti lingkungan keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.
Secara indrawi setiap manusia secara spontan mampu membedakan antara orang yang baik dan orang yang jahat dan hal tersebut merupakan keutamaan dari diri manusia. Di dalam masyarakat juga banyak pertanyaan yang mengatakan bahwa mengapa dalam masyarakat ada orang-orang yang benar-benar jahat?, mengapa ada seseorang yang begitu anti pada kehidupan, mengapa ada orang yang menjadi pembunuh, ada orang yang culas terhadap sesamanya, mengapa ada orang yang gemar berperang, mengapa ada orang yang suka melecehkan martabat orang lain?. Apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan jawaban bahwa dari pertayaan apakah orang-orang tersebut memang memiliki sifat demikian sejak lahir.
Fr. Paulhan dalam Doni (2007:103) mengatakan bahwa karakter adalah apa yang membuat seorang pribadi itu dirinya sendiri, dan bukan yang lain. Spranger dalam Doni (2007:103) mengatakan bahwa karakter adalah prilaku tipikal berbeda yang diyakini oleh pribadi berhadapan dengan nilai-nilai estetis, ekonomis, politis, sosial, dan religius. A. Nicefero dalam Doni (2007:103) mengatakan bahwa karakter sebagai ada aku dalam masyarakat. Diana R dalam Doni (2007:104) mengatakan bahwa karakter merupakan keseluruhan disposisi kodrati dan disposisi yang telah dikuasai secara stabil dan menjadikannya typikal dalam cara berfikir dan bertindak.
Beberapa kriteria dari karakter seperti stabilitas pola prilaku, kesinambungan dalam waktu, koherenitas cara berfikir dan betindak telah menarik perhatian serius para pendidik untuk meletakkan karakter dalam kerangka proses pendidikan.
Jadi karakter merupakan sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinan kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinansi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus. Karakter sekaligus berupa hasil dan proses dalam diri manusia yang sifatnya stabil dan dinamis untuk senantiasa berkembang maju mengatasi kekurangan dan kelemahan dirinya.

  1. Pendidikan karakter
Pendidikan karakter menurut Doni (2007:104) merupakan dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil dalam individu. Dinamika ini membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh.
Nurul Zuriah (2008:19) mengatakan bahwa pendidikan karakter sering disamakan dengan budi pekerti, artinya seorang dikatakan berkarakter atau berwatak jika orang tersebut berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Budi pekerti dapat diartikan sebagai moralitas, adat istiadat, sopan santun, prilaku, dan menurut Nurul Zuriah (2008:15)   budi pekerti secara hakiki sama dengan prilaku.
Pandangan Ratna Mangunwijaya (2010:2) dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berfikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah menghapal. Adapun siswa berfikir kritis adalah tabu sehingga siswa dididik, di drill, dilatih, ditatar, dibentuk menjadi penurut (suasana pebelajaran salah urus) sehingga siswa dididik dan membuat cakrawala berfikir menyempit, mengarah pada sikap-sikap fasisme, dan bahkan menyuburkan mental penyamun, perampok, penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Hal ini terkait dengan timbulnya suatu ketidak wajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental berbohong/membual, semu, berbedak, dan bertopeng yang seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa seperti kemunafikan merajalela, kejujuran dan kewajaran terkalahkan, keserasian antara yang dikatakan dengan yang dikerjakan semakin timpang.

G.    Pembahasan
Pentingnya memahami pendidikan karakter/soft-skill penting di golden age tentunya kita dihadapkan pada berbagai masalah karena pendidikan karakter merupakan tambahan untuk pengembangan diri setiap manusia. Kita pahami bahwa sejak dilahirkan  setiap manusia memiliki titik berangkat yang sama yaitu bahwa manusia itu pada dasarnya  ”baik”, dan ditengah perjalanan hidupnya terjadi penyempurnaan dalam diri seseorang  karena kemampuan menambahkan kualitas dalam hidupnya berupa keutamaan melalui perbuatan dan tindakan. Apabila proses ini ngatif, maka jadilah ia manusia yang defisit atau berkurangnya keutamaan sebab tindkannya cenderung kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Sebaliknya juga jika manusia dalam perjalanan hidupnya menambahkan sebuah keutamaan dalam dirinya dan mampu menyempurnakan dirinya menjadi semakin lebih baik, tentunya hasil usaha ini dapat terlihat dari prilaku dan keputusannya sesuai dengan yang diharapkan orang banyak. Jadi setiap manusia yang berkarakter lemah setelah melalui pendidikan karakter  dapat terbentuk kualitas tambahan yang disebut dengan kemampuan untuk berbuat baik dan bertanggung jawab.
Output yang kita harapkan  melalui pendidikan adalah menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang diharapkan masyarakat seperti mampu menghidupi dirinya sendiri, keluarga dan dapat diterima dimasyarakat. Terdapat variabel yang menentukan sebagai kekuatan lembaga pendidikan formal agar mampu meningkatkan prestasi anak didik yaitu variabel properti sekolah atau memurut Hoy  (2001:281) dorongan optimis sekolah yang terdiri atas 3 sub variabe yaitu 1) peningkatan kemampuan akademis disekolah, 2) adanya usaha kesadaran kelompok bahwa usaha mereka akan berhasil, 3) kredibilitas sekolah dimata orang tua murid yaitu besarnya rasa percaya/kepercayaan yang diberikan oleh orang tua dan siswa agar tujuan belajar yang diharapkan dapat tercapai, artinya siswa dan orang tua memiliki kepercayaan besar bahwa dengan belajar disekolah peserta didik akan dapat tumbuh dan prestasi akademisnya meningkatkan.  Variabel tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan peserta didik sangat ditentukan oleh salah satu variabel adalah properti sekolah.
Berdasarkan latar belakang, masalah, dan didukung oleh teori tersebut di atas, maka pembahasan disini lebih menekankan kepada pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik yang diberikan oleh para guru, dosen, widyaiswara atau tenaga pendidik lainnya yang berkaitan dengan proses pembelajaran untuk menghasilkan SDM yang benar-benar bekulitas.
Peristiwa yang sering terjadi di masyarakat umum, khususnya di lembaga pendidikan yang menggambarkan karakter baik dan buruk, yang tadinya baik menjadi buruk atau sebaliknya dari yang tadinya buruk menjadi baik dan kembali buruk lagi atau tadinya buruk kembali menjadi baik.
Apa yang harus kita lakukan agar peserta didik  mendapatkan pengalaman baru  sesuai dengan kehidupan yang nyata bagi peserta didik tersebut dan peserta didik bisa belajar dan bergaul  secara langsung tentang berbagai karakter mulia dapat kita lakukan dengan istilah 9 (sembilan pilar) seperti yang dikemukakan oleh Ratna Megawangi (2009:30) yaitu:  1) cinta kepada Tuhan dan kebenaran; 2) tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; 3) amanah; 4) hormat dan santun; 5) kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; 6) percaya diri dan kreatif serta pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; 9) toleransi dan cinta damai. Ini Artinya pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari moral karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan yang salah, tetapi lebih dari iu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, ranah afektif yang mampu merasakan nilai yang baik dan tidak baik, serta ranah psikomotor tentang kemauan melakukannya.
Bagi segenap Pemangku kepentingan pendidikan agar dapat mengimplementasikan pendidikan karakter seperti yang digagas pemerintah secara baik dan benar  dalam dunia pendidikan dengan: 1) memberikan bekal pendidikan karakter kepada seluruh guru-guru yang profesional secara berkelanjutan agar para guru dapat menyampaikan pendidikan karakter kepada peserta didik tidak kaku, monoton, dogmatis dan indoktrinatif; 2) jadikan pendidikan karakter sebagai salah satu pengembangan diri disekolah. Siswa perlu diberikan ruang ”mimbar bebas”  di luar jam pelajaran yang secara khusus didesain untuk mengembleng kepribadian dan jati diri siswa agar benar-benar menjadi sosok yang berkarakter; 3) menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan pendidikan karakter bisa bersemi dan mengakar dalam dunia pendidikan kita, artinya memunculkan para elit bangsa, tokoh masyarakat atau pemuka agama yang dapat dijadikan anutan atau kiblat sosial dalam bersikap, bertingkahlaku dan bersinergi  dengan memberikan keteladanan nyata ditengah-tengah kehidupan masyarakat
Empat ciri dasar dalam pendidikan karakter yaitu: 1) keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarhi nilai, dimana nilai dijadikan pedoman normatif setiap tindakan; 2) koherensi yang memberikan keberanian dan membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terobang-ambing pada situasi baru atau takut pada risiko. Koherensi ini sebagai dasar yang membangun rasa percya satu sama lain, karena ketidak koherenitas akan meruntuhkan kredibilitas seseorang; 3) Otonomi, dimana seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi, dan diperoleh melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan orang lain; 4) keteguhan dan kesetiaan  merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen dirinya tentang apa yang dipilih.
Jika kita matang terhadap keempat karater tersebut di atas maka seseorang akan mengarah dan melewati individualitas menuju personalitas atau antara yang aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior. Empat karakter inilah yang menentukan seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Orang yang memiliki karakter yang kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja (sudah ada dari sononya), dan mereka yang memiliki karakter yang lemah adalah mereka yang selalu tunduk kepada sekumpulan kondisi yang telah ada padanya (dari sononya) tanpa dapat menguasainya, artinya mereka pasrah pada keadaan apa adanya dan pada tingkatan ekstrimnya bisa jatuh dalam fatalismenya, dan orang seperti ini selalu berkata ” karakter saya memang demikian..... mau apa lagi”, itulah takdir dan keberuntungan hidup saya, dan hal ini kontra-produktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Sejumlah karakter yang menjadi pilar bagi seseorang adalah dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, tanggung jawab, jujur, peduli, kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun dan integritas. Sedangkan karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi yaitu masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerjasama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja yang tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Jika sejumlah karakter bangsa ini tidak terpenuhi maka timbul berbagai perasalahan sosial seperti ketidakteraturan sosial yang menghasilkan berbagai bentuk kriminal, kekerasan, terorisme dan sebagainya. Untuk itu pendidikan harus terus didorong mengembangkan karakter bangsa  untuk menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan modern. Peradaban modern  akan terbangun dengan 4 (empat) pilar yaitu induk budaya agama yang kuat, sistem pendidikan yang maju, sistem ekonomi yang berkeadilan serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang humanis.
Intinya bentuk karakter apapun yang dapat dirumuskan tetapi harus berlandaskan pada nilai-nilai universal, oleh karena itu pendidikan yang mengembangkan karakter adalah bentuk pendidikan yang  bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang kepada peserta didik dengan mengajarkan dan menunjukkan karakter yang bagus. Hal ini dilakukan untuk mengisi pola pikir anak didik yaitu niai-nilai etika seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, sikap bertanggung jawab, integritas dan disiplin diri. Ini semua merupakan solusi dan concern jangka panjang yang mengarah pada isu-isu moral, etika dan akademis dalam dunia pendidikan.
Kita mengetahui bahwa dalam proses pembelajaran  yang berkaitan dengan pendidikan karakter dilihat dari tahap perkembangan prilaku seseorang yang dipengaruhi oleh 1) faktor internal seperti instink biologis (lapar mendorong untuk makan dll); kebutuhan psikologis seperti rasa aman, ingin penghargaan, ingin diterima dll; kebutuhan pemikiran seperti cara berfikir yang ada kaitannya dengan objek yang dipikirkan; 2)  faktor eksternal seperti lingkungan keluarga, lingkunan sosial, dan lingkungan pendidikan.
Sebagai seorang pendidik di dalam pendidikan karakter, tentunya juga harus memahami tentang perkembangan prilaku seseorang yaitu:
1.      Tahap I (0 - 10 tahun) lebih kepada prilaku lahiriah, metode pengembangannya adalah pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan (hukuman) dan indoktrinasi.
2.      Tahap II (11 – 15 tahun) lebih kepada prilaku kesadaran, metode pengembangannya adalah penanaman nilai melalui dialog, bimbingan dan pelibatan.
3.      Tahap III (15 tahun ke atas), lebih kepada kontrol internal atas prilaku dimana metode pengembangannya adalah perumusan visi dan misi hidup, dan penguatan tanggung jawab kepada Allah
Terdapat tiga langkah merubah karakter pada ranah kognitif, mental dan fisik yaitu:
1.      Terapi kognitif, cara yang efektif untuk memperbaiki karakter dan mengembangkannya adalah dengan memperbaiki cara berfikir dengan langkah sbb:
a.       pengosongan à berarti pengosongan benak kita dari berbagai bentuk pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari segi agama maupun akal yang lurus.
b.      Pengisian à berarti mengisi kembali benak kita dengan nilai-nilai baru dari sumber keagamaan kita yang membentuk kesadaran baru, logika baru, dan lensa baru dalam cara memandang berbagai msalah
c.       Kontrol berarti kita harus mengontrol pikiran-pikiran baru yang melintas dalam benak kita sebelum berkembang menjadi gagasan utuh
d.      Do’a berarti bahwa kita mengharapkan unsur pencerahan Ilahi dalam cara berfikir kita
2.      Terapi mental, Warna perasan kita adalah cermin bagi tindakan kita, tindakan yang harmonis akan mengukir lahir dari warna perasaan yang kuat dan harmonis, langkahnya sbb:
a.       Pengarahan à perasaan-perasaan kita harus diberi arah yang jelas, yaitu arah yang akan menentukan motifnya. Setiap perasaan harus mempunyai alasan lahir yang jelas, dan itu hanya bisa terjadi jika perasaan dikaitkan secara kuat dengan pemikiran kita.
b.      Penguatan à kita harus menemukan sejumlah sumber tertentu yang akan menguatkan perasaan itu dalam jiwa kita. Ini secara langsung terkait dengan unsur keyakinan kemauan dan tekat dalam memenuhi jiwa  sebelum kita melakukan suatu tindakan
c.       Kontrol à kita harus memunculkan kekuatan tertentu dalam diri yang berfungsi mengendalikan semua warna perasaan diri kita
d.      Doa à mengharapkan adanya dorongan Ilahi yang berfungsi membantu semua proses pengarahan, penguatan, dan pengendalian bagi mental kita
3.      Perbaikan fisik, Akhli kesehatan mengatakan bahwa dasar kesehatan itu tercipta melalui 3 unsur yaitu:
a.       Gizi makanan yang baik dan mencukupi kebutuhan
b.      Olahraga yang teratur dalam kadar yang cukup
c.       Istirahat yang cukup dan memenuhi kebutuhan relaksasi tubuh.
Berbagai hal harus dipahami oleh seorang pendidik dalam melakukan pendidikan karakter dan keberhasilannya dapat dilihat dari kualitas kinerja guru, dosen, widyaiswara atau tenaga pendidik lainnya. Menurut Bovie (2010:276) kualitas kinerja  pendidik akan baik jika dilakukan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki yaitu kompetensi intelektual, kompetensi personal atau individu/pribadi, dan kompetensi sosial (lampiran 1). 
Kompetensi intelektual yang harus dipahami oleh pendidik adalah memiliki keahlian profesional, kemampuan mencari informasi, mampu berfikir analitis, juga harus berdasarkan konseptual serta mampu berkomunikasi. Kompetensi intelektual pendidik juga belum bisa menjamin jika tiak diikuti oleh kompetensi personal yang meliputi percaya diri, berorientasi pada prestasi, berinisyatif, berorientasi pada mutu atau kualitas, mampu mengendalikan diri, komitmen apada organisasi, dan fleksibilitas.
Kompetensi intelektuan dan kompetensi pribadi juga belum lengkap jika tidak dikuatkan dengan kompetensi sosial. Kompetensi sosial bagi pendidik adalah mampu mengarahkan peserta didik, berorientasi pada pelanggan, sadar untuk mau mengembangkan orang lain, bekerjasama secara tim untuk mencapai tujuan, dan mampu membangun hubungan kerja antara pendidik, stakeholder dan peserta didik.

H.    Kesimpulan dan Rekomendasi
1.      Kesimpulan
a.       Setiap manusia dilahirkan berkarakter lemah dan diperlukan pengarahan, pembiasaan, penguatan serta pelemahan  karena pada tahap ini lebih kepada prilaku lahiriah, demikian pula pada tahap-tahap selanjutnya.
b.      Guru berkarakter dan memiliki keutamaan merupakan role model serta cerminan peserta didik yang berkarakter dan juga memiliki keutamaan, karena peserta didik dilahirkan sama seperti kita saat dilahirkan dengan potensi jasad, akal dan mental rohani yang siap menerima bentukan lingkungan.
c.       Pendidikan karakter melalui penanaman nilai-nilai budaya karakter yang kita harapkan tentunya juga harus melihat tahapan perkembangan perilaku dari objek yang kita hadapi
d.      Kualitas kinerja pendidik dalam pendidikan karakter kepada peserta didik harus dilakukan sesuai dengan kompetensi yang  meliputi kompetensi (intelektual, pribadi dan sosial);
e.       Proses internalisasi terjadi saat seseorang mencapai perkembangan prilaku pada tahap ketiga  yaitu mulai pada umur 15 tahun ke atas.

2.       Rekomendasi
a.       Keberhasilan peserta didik yang memiliki karakter dengan keutamaannya sebagai SDM yang berkualitas, prosesnya cukup panjang dan dimulai pada tahap I  s/d III sehingga proses internalisasi terjadi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang benar-benar dilakukan bukan melalui pendidikan dengan tambahan mata pelajaran, tetapi dilakukan melalui tranfer dalam bentuk role model dari pendidik sesuai dengan kompetensinya dengan penanaman nilai-nilai budaya karakter yang diharapkan.
b.      Pemerintah daerah melalui lembaga terkait diharuskan mengintensifkan para tenaga pendidik untuk terus menerus menanamkan karakter dengan keutamaannya kepada peserta didik
c.       Melakukan atau mengadakan pelatihan teknis bagi tenaga fungsional (tenaga pendidik) dalam kaitannya dengan pendidikan karakter melalui Dadan Diklat Daerah Provinsi Lampung

I.  Daftar Pustaka

Ade Jaenudin http://www.goodreads.com/story/show/14092. Membangun_Karakter
3 April 2008 [5 Januari 2011, 13:35]


Bovie Kawulusan, 2010., Strategi Pengembangan Manajemen Pendidikan dan Latihan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Doni Koesoema A. 2007., Pendidikan Krakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global). Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia (Grasindo).

Hassan Shadily, 1993., Ensiklopedi Umum (Edisi ke dua cetakan ke sepuluh), Yogyakarta: Kanisius

http://pustaka-ebook.com/membentuk-karakter-cara-islam/25 Mei 2009 [6 Januari 2010, 11:15]

http://www.almuslim.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=1%20&PHPSESSID=27ccadc054d07dec28540b4f25bf071e25 Mei 2009
http://wiek.files.wordpress.com/2008/11/teach.jpg [6 [Januari 2010, 10:21]

Hurlock, Elizabeth B. 2004., Psikologi Perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan) Edisi ke lima, Jakarta:Erlangga


Nurul Zuriah. 2008., Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Malang: Bumi Aksara

Taufiq Effendi. (2005). Permenpan No, PER/66/M.PAN/2005 Tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya, Jakarta:Menpan.

Undang-Undang Dasar 1945

Veithzal Rivai. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan

Wayne K Hoy and Cecil G. Miskel. (2001). Educational Administration (Theory, Research, and Practice, Sixth Edition, United State:School Management and Organizations.





Lampiran 3:

Isu-isu penting /Trend issue/Issu aktual
  1. Siswa yang kurang respek dengan guru
  2. mahasiswa cerdas yang membunuh dosen pembimbing
  3. mahasiswa yang bunuh diri (labil)
  4. mahasiswa berhasil dan kembali kedesa membangun desanya dimana tempat asalnya
  5. hubungan seks pra nikah bagi remaja yang masih di lingkup pendidikan

Beberapa Istilah:
         Nilai/value kaitannya dengan karakter à isi dari kehidupan manusia. Nilai-nilai kehidupan tsb seperti kejujuran, kesetiaan, kepantasan, indah, baik, benar dll. Jadi eksistensi atau keberadaan manusiawi diisi oleh nilai-nilai yang dituntun oleh pengertian tentang nilai itu sendiri, sedangkan kesadaran tentang nilai menjaga dan memelihara supaya eksistensi manusiawi itu tetap ada pada tingkat kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa hati nurani adalah penjumlahan dari pengertian tentang nilai dalam pribadi manusiawi, sedangkan pribadi adalah kenilaian yang tertinggi (Hassan Shadily, 1973:749)
         Keutamaan diri manusia à mampu membedakan
         Mental à kesehatan jiwa (Hassan Shadily, 1973:687)
         Hedonism à maunya enak,
         Pragmatism à maunya mudah
         Materialism à penuh kemewahan
         Liberalism à serba bebas


Beberapa Istilah dalam Psikologi Perkembangan (Hurlock, 2004)
         Masa perkembangan Pasca natal, bayi, kanak-kanak, remaja,  dewasa (masa ewasa dini 18-40 thn, dewasa madya 40-60 tahun, dwasa lanjut >60 tahun
         Pasca natal- kelahiran bayi yg ditandai dgn keadaan tdk berdaya
         Bayi à 2 tahun prtama stelah bayi baru lahir 2 minggu (anak kecil yg beru belajar berjalan) (2004:76)
         kanak-kanak, umur 6 thn s.d individu menjadi matang secara seksual yi 13 tahun. (2004:108)
         remaja, 13 thn s.d 16 tahun (singkat) (2004:206) 
         dewasa (masa ewasa dini 18-40 thn, dewasa madya 40-60 tahun, dwasa lanjut >60 tahun (2004:246)
         Thomas dalam Hurlock (2004:64) pentingnya hubungan timbal balik antara matangnya sifat-sifat turunan dan pengalaman dalam perkembangan kepribadian. Jadi “kalau kedua efek itu selaras, dapat diharapkan perkembangan anak yang sehat, tetapi kalau tidak serasi maka hampir selalu dapat dipastikan timbulnya perilaku yang mengundang masalah.
         Seperti halnya sifat fisik dan mental, kepribadian merupakan hasil dari pematangan sifat turunan
         Pubertas/puber à kedewasaan  yaitu perubahan fisik dari perubahan prilaku terjadi pada saat individu secara sex menjadi matang (Hurlock 2004:206)





1 comment: